Mengakhiri karier panjang mereka dengan kekalahan di rumah sendiri memang bukan sebuah happy ending yang ideal. Namun, Hendra dan Ahsan tetap berdiri dengan kepala tegak, hati yang lapang, dan cinta yang tak pernah habis — baik dari dan kepada penggemar, maupun dunia bulu tangkis itu sendiri.
Ucapan terima kasih yang kemudian diutarakan dari sang lakon utama di panggung, terbalas manis dengan hal yang sama oleh penonton, beriringan dengan tepuk tangan meriah dan isak tangis yang pecah.
Ribuan pasang mata yang memadati Istora itu sudah menyaksikan jatuh-bangun Hendra/Ahsan dari generasi ke generasi. Saat rival tersulit mereka masih Fu Hai Feng dan Lee Yong Dae, hingga kini menjadi Wang Chang serta Seo Seung Jae.
Ketangguhan The Daddies di dalam lapangan, dan kepribadian mereka yang rendah hati kepada lawan maupun kawan di luar pertandingan tak hanya menjadi apresiasi, akan tetapi juga inspirasi bagi atlet Indonesia dan dunia, bahkan calon-calon pengganti mereka di masa mendatang.
Seiring dengan langkah mereka yang kian menjauh dari panggung, hadir pula kekosongan yang ditinggalkan Hendra/Ahsan di skena tepok bulu.
Baca juga: Artikel - Menanti talenta-talenta baru bersemi
Warisan mereka tak sekadar rentetan trofi dan medali, melainkan inspirasi bagi atlet-atlet di masa yang telah, dan akan mereka lewati.
Baca juga: Artikel - Menunggu pembuktian Patrick Kluivert di bulan Maret
Di Istora, terpatri pula harapan bagi Indonesia untuk menciptakan atlet-atlet berprestasi lainnya, yang mungkin saja akan berawal di sini — tempat yang sama dengan sang legenda untuk memulai perjalanan panjangnya, dan mencatatkan sejarah yang abadi disegani dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akhir manis perjalanan "The Daddies"