Kupang (ANTARA) - Keputusan Yunita Adi (32), perempuan beranak satu, menolak ajakan suaminya merantau ke Kalimantan dan lebih memilih kembali ke kampung halamannya di Desa Oe Ekam, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), berbuah manis.
Apalagi ketika dia bandingkan dengan pengalamannya merantau ke Bali dan NTT ketika masa gadis seusai lulus SMA.
Kesulitan ekonomi di kampung halamannya di desa Oe Ekam, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur, membuat dirinya memutuskan untuk merantau, walaupun hanya tamatan SMA.
Setiap mengenang masa itu, Yunita pasti menitikkan air mata.
"Kalau saya kenang masa-masa itu, saya sedih, karena sangat susah," ujarnya lirih ketika memulai kisahnya saat ditemui di kampung halamannya sebagai orang yang sukses sebagai petani holtikultura.
Kisah suksesnya mau tidak mau bermula ketika dia menolak ajakan suami untuk merantau ke Kalimantan pada 2023 di saat mereka telah memiliki seorang anak.
Penolakan itu tidak lain berkat cerita dari orang tuanya tentang program Green Skills 2.0 dari Yayasan Plan Indonesia yang sudah masuk ke desanya pada tahun 2022.
Penolakan terhadap ajakan ke Kalimantan itu sangat berkait dengan pengalamannya merantau sebelumnya.
Dua tahun merantau di Bali sejak 2017, dia bekerja di Bali sebagai pekerja di warung bakso dengan gaji sebulan hanya Rp500 ribu membuat dia kesulitan untuk bisa mengirim uang untuk orang tuanya di kampung halaman.
Begitu juga ketika dia merantau ke Mataram, NTB, selama setahun pada 2019. Begitu banyak duka yang dia ingat di masa perantauannya itu.
Maka, ketika ada kesempatan mencari nafkah di kampung halamannya sendiri, dia sepenuh hati bertekad kembali ke kampungnya untuk berusaha menekuni peluang yang ada.
Di Lahan seluas 1,8 hektare, berkat dukungan dari orang tuanya dia bersama tujuh orang anak muda usia sekitar 18 hingga 29 membuat Kelompok Tani Semut Putih.

Mereka dilatih bagaimana membudidayakan dan merawat tanaman holtikultra tanpa menggunakan pestisida oleh orang yayasan. Semua tanaman holtikultura yang ditanam semuanya organik.
Tak hanya dilatih, kelompok tani itu juga diberikan dukungan dengan pompa hidran, pipa dan dibangun bak air untuk membantu perawatan sejumlah tanaman holtikultura itu.
Baru dilatih dan dibimbing selama beberapa bulan, hasil tanaman holtikulturanya langsung kelihatan. Delapan anggota kelompok tani itu mempunyai bedeng masing-masing untuk satu tanaman holtikultura.
"Di bulan 10 tahun 2024 saat itu dari hasil panen saya jual, dan dapat uang sebesar Rp10 juta. Saya kaget baru kali ini saya pegang uang sebanyak itu," ceritanya ketika mengenangnya.
Penghasilan yang dia peroleh setiap kali panen berada pada kisaran Rp8 juta hingga Rp10 juta per bulan.
Walaupun saat ini usianya sudah 32 tahun, namun usai ditinggalkan suaminya dan menjadi seorang ibu yang mengasuh anaknya sendiria, kini dia bertekad terus menekuni pekerjaannya tersebut.
Di tambah lagi dengan program baru Plan Indonesia yaitu Youth Led Agri Food, kini kelompok tani itu sudah membudidayakan ayam petelur yang per bulan bisa peroleh Rp7 juta.
Dia menyesal kenapa program dari yayasan tersebut baru masuk saat dia sudah tamat sekolah, bukannya saat usianya masih 20 tahun
"Tapi tidak apa-apa, sekarang saya sudah bergabung," ceritanya sambil mengelus-ngelus kepada anak semata wayangnya yang duduk di pangkuannya.
Selain itu dia juga menyesal karena harus merantau jauh dari keluarga, padahal potensi mencari dan mendapatkan uang di desanya ada.
Dukung MBG
Keberhasilan Kelompok Tani Semut Putih membuat para pedagang sayur mencari kelompok tani tersebut.
Meti, pendamping kelompok tani itu, mengatakan saat ini hasil panen para petani itu bukan hanya ditujukan untuk warga sekitar, namun juga hingga ke pedagang di pasar-pasar di desa sekitarnya hingga sampai ke Kota So'e.
"Terkadang kalau sudah harus panen dan permintaan di So'e sudah dipenuhi semua kami kirim juga ke Kupang," ceritanya.
Untuk telur ayam dengan jumlah ayam mencapai 140an ekor dan per hari kisaran hanya 120an telur, kelompok tani itu hanya mampu memenuhi permintaan kios-kios yang menjual telur, dengan harga per rak 30 butir Rp60 ribu.
Saat ini pihaknya juga sedang mengurus kesiapan untuk memenuhi kebutuhan akan dapur SPPG untuk mendukung pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) di Kabupaten TTS.
Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti mengatakan program yang dilaksanakan berhasil karena banyak kaum muda di Kabupaten TTS yang justru berhasil dan memiliki pemasukan sendiri.
Pada dasarnya berbagai program yang dilaksanakan di daerah itu oleh yayasan tersebut melalui program itu juga dalam rangka mendukung program pemerintah.
“Termasuk juga kita sudah link up anak-anak muda produser pertanian ini dengan program pemerintah, termasuk juga MBG,” ujar dia.
Plan memberikan pelatihan dan khususnya di bidang pertanian organik kepada kaum muda dengan usia 18 hingga 29 tahun.
Pelatihan tersebut meliputi penggunaan pupuk dan pestisida organik sebagai alternatif ramah lingkungan, guna mengurangi dampak negatif terhadap kesuburan tanah dan ketersediaan air bersih.
Sampai dengan Juni 2025 Plan Indonesia telah membina dan melatih serta memberikan pendampingan kepada 411 kaum muda di Kabupaten TTS. Mereka dilatih untuk mengelola pertanian holtikultura di lahan yang gersang, peternakan ayam petelur, serta lele dengan jumlah kelompok mencapai 39 kelompok.
Bupati TTS Eduard Markus Lioe mengatakan kisah sukses Yunita Adi dan beberapa petani muda di daerah itu membuktikan bahwa untuk mencari rejeki tidak perlu harus jauh-jauh.
"Banyak kasus seperti TPPO karena para pekerja itu tidak mau berusaha di kampung. Padahal lahan luas dan bisa dikembangkan," ujar dia.
Kisah sukses ini tentunya bisa memberi inspirasi kepada masyarakat dan juga pemerintah daerah. Potensi yang ada bisa menjadi lahan usaha yang memberi lapangan pekerjaan jika dikelola dengan tepat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cerita Yunita menjadi petani sukses di desanya di TTS

