Kupang, NTT (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) meningkatkan kapasitas SDM pemerintah daerah (pemda) di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam pengelolaan sampah dan peningkatan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.
“Selain tata kelola persampahan, kegiatan ini juga mencakup sosialisasi pengelolaan keanekaragaman hayati (kehati) dan pemantauan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di masing-masing kabupaten/kota,” kata Kepala Bidang Wilayah III Provinsi NTT Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Bali dan Nusa Tenggara KLH/BPLH Ade Suharso di Kupang, Rabu.
Ia menjelaskan, sosialisasi berlangsung selama dua hari dengan target setiap daerah bisa memahami cara menghimpun data dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dan Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS).
Selain itu, peserta juga mendapat bimbingan teknis tentang perhitungan dan penginputan data pengurangan sampah oleh produsen, penyusunan rencana induk kehati, serta penghitungan IKLH di kabupaten/kota.
Ade menambahkan, berdasarkan data IKLH empat tahun terakhir (2021-2024) di beberapa kabupaten/kota di NTT masih berada dalam kategori kurang hingga sedang.
Namun, telah terjadi peningkatan pada tahun 2024 masuk dalam kategori sedang hingga baik. Untuk itu, peningkatan kualitas lingkungan hidup di NTT secara keseluruhan tetap perlu ditingkatkan.
“Melalui sosialisasi ini, kami berharap setiap pihak dapat memahami kesulitan dan menyampaikan kendalanya kepada kami, sehingga menjadi bahan perbaikan untuk tahun 2026, agar bisa dilakukan hal yang lebih implementatif dan seluruh dokumen perencanaan bisa tersusun,” ujarnya.
Baca juga: Pemkot Kupang dukung program Pertamina kelola sampah berkelanjutan
Baca juga: Pertamina: Sapa Tana terobosan olah sampah organik atasi masalah lingkungan
Sementara itu, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLH Haruki Agustina mengatakan pengelolaan sampah dalam konteks edukasi masyarakat atau pemda tidak bisa dilakukan hanya sekali atau dua kali. Upaya tersebut perlu dibangun secara berkelanjutan dan bisa diinisiasi oleh provinsi sebagai unit pembina di atas kabupaten/kota.
“Perlu adanya penyamaan persepsi dalam pengelolaan sampah, mulai dari memahami jenis sampah yang akan diolah, hingga mengidentifikasi potensi dan kendala yang ada di masing-masing wilayah,” katanya.
Menurut dia, kesadaran masyarakat juga perlu dibangun melalui inisiatif yang sudah ada di beberapa daerah, misalnya peraturan daerah yang memberikan sanksi agar masyarakat mulai bertanggung jawab terhadap sampah sejak dari sumber.
Agustina menambahkan, terkait pendataan jumlah sampah atau timbulan sampah menjadi unsur penting dalam pengelolaan yang berkelanjutan.
“Kita tidak bisa mengelola sampah tanpa mengetahui jumlahnya, berapa yang organik dan anorganik. Pendataan ini dapat dimulai dari perhitungan potensi jumlah penduduk dikalikan dengan konversi timbulannya sesuai standar yang sudah ada,” ujarnya.

