Netralitas ASN dalam pilkada hanya sebuah formalisme kosong

id asn di pilkada

Netralitas ASN dalam pilkada hanya sebuah formalisme kosong

Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona. (ANTARA/Bernadus Tokan)

Netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam sebuah momentum politik yang namanya pilkada adalah sebuah formalisme kosong.
Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona, MA mengatakan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam sebuah momentum politik yang namanya pilkada adalah sebuah formalisme kosong.

"Mengatakan bahwa ASN itu netral adalah sebuah bahasa undang undang yang kebenarannya hanya ada dalam buku, tetapi tidak benar dalam praksis politik," kata Mikhael Bataona kepada Antara di Kupang, Kamis (5/3)..

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan laporan Bawaslu NTT tentang dugaan keterlibatan ASN dalam pilkada serentak 2020, dan bagaimana ASN bisa dinyatakan netral murni dalam pilkada, sementara ASN sendiri punya hak untuk memilih dan dipilih.
 
Menurut dia, jika dianalisis menggunakan pendekatan sistem dan institusional, maka ASN adalah alat dari negara. Mereka berbeda secara fundamental dari politisi karena mereka adalah abdi negara dan pelayan rakyat. 

Masalahnya adalah, tesis ini menjadi ambigu dan serba abu-abu sebab di satu sisi, ASN itu abdi negara tapi mereka juga mengabdi kepada tuan-tuan yaitu politisi yang menang dalam setiap pertarungan elektoral saat Pemilu. 

Akibatnya, netralitas mereka adalah netralitas omong kosong atau netralitas "penuh kepura-puraan" sebab mereka juga punya motif politik, katanya. 
Suasana sosialisasi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) lingkup Pemkab Lutim dalam Pilkada Serentak 2020 di Gedung Wanita Simpurusiang, Puncak Indah Kecamatan Malili, Luwu Timur, Senin (24/02/2020). (ANTARA/HO/Diskominfo Lutim)
Institusi terbelah
Pengajar investigatif news dan jurnalisme konflik pada FISIP Unwira Kupang itu mengatakan, saat pemilu digelar, barisan PNS di setiap institusi akan terbelah. 

Ada kelompok pro status quo yang mati-matian berjuang agar calon petahana memenangkan pertarungan. 

Selain itu, ada juga yang anti rezim yang sedang berkuasa. Di mana mereka ini mengkonsolidasi kekuasaan untuk segera mengakhiri kekuasaan rezim yang mereka tidak sukai, katanya. 

"Jadi dalam pandangan saya secara empirik, ASN terutama mereka yang memiliki kedudukan dalam suatu masa kekuasaan adalah politisi-politisi yang kebetulan berjubah ASN," katanya. 

Sebab mereka juga bekerja mengurus praksis politik dan terlibat aktif dalam kerja-kerja politik di akar rumput dengan jaringan mereka. 

"Jadi kalau kita mengatakan bahwa ASN itu netral adalah sebuah formalisme kosong. Sebuah bahasa undang undang yang kebenarannya hanya ada dalam buku tapi tidak benar dalam praksis politik," katanya.

Alasannya karena ASN juga memiliki group-group dan solidaritas-solidaritas yang membuat mereka sangat kuat dalam menentukan arah politik setiap pertarungan politik terutama di level provinsi dan kabupaten, katanya. 

Menurut dia, ASN entah siapa pun dia, pasti memikiki rencana karier dan motivasi ekonomi politik, yang mana mereka paham bahwa hal itu hanya bisa diwujudkan lewat kerja-kerja politik praksis. 

"Jadi soal ASN dinyatakan netral, itu hanya bahasa hukum yang tujuannya untuk mencegah para birokrat menggunakan kekuasaan dan sumber daya yang ada dalam pemerintahan, untuk tujuan elektoral dalam pemilu," katanya.

Padahal bahasa UU ini lupa bahwa, dalam kenyataan di lapangan, justeru para ASN sangat aktif terlibat mengurus politik dan bagi mereka yang sedang menjabat, mempertahankan kekuasaan rezim yang sedang berkuasa adalah harga mati, kata pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira itu. 
Aparatur Sipil Negara (ASN) di Nusa Tenggara Timur dituntut untuk bersikap netral dalam pelaksanaan pilkada 2020. (ANTARA/Benny Jahang)