"Kalau infrastruktur jalan dan jembatan menuju desa wisata sudah dibangun dengan bagus, saya optimistis desa wisata itu akan berkembang karena terus dibanjiri para wisatawan," kata Marius saat dihubungi Antara di Kupang, Senin.
Nusa Tenggara Timur memiliki ratusan desa wisata yang tersebar di Pulau Timor, Flores, Sumba, Sabu, Rote, dan Alor, namun sebagian besarnya belum menjadi sasaran kunjungan wisatawan domestik dan asing, karena terkendala infrastruktur jalan dan jembatan.
Ia mencontohkan, sejumlah desa wisata yang unik dan telah diikenal namun belum ramai dikunjungi karena akses jalan yang masih sulit seperti kampung adat Boawae di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores.
Selain itu, Kampung Bena dan Kampung Bela di Kabupaten Ngada, Desa Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pulau Tmor dan banyak desa wisata lainnya yang menyebar di Pulau Sumba, Sabu, Rote, dan Alor.
"Keluhan utama wisatawan itu terutama pada kesulitan akses jalan yang membuat waktu kunjungan mereka menjadi tidak efektif dan juga berdampak pada harga transportasi yang digunakan," katanya.
Atas kondisi itu, Marius mendorong setiap pemerintah dan masyarakat di desa wisata agar memanfaatkan sebagian anggaran dana desa yang nilainya bisa mencapai Rp1 miliar per desa untuk menyiapkan infrastruktur dasar itu secara memadai.
"Misalnya untuk membangun jalan setapak dengan bagus menuju desa wisata yang jauh dari jalan utama, maupun untuk kebutuhan membangun toilet yang bersih dan nyaman di desa wisata," katanya.
Menurutnya, wisata budaya di provinsi selaksa nusa itu semakin menggeliat dan seiring waktu terus menjadi incaran wisatawan mancanegara terutama dari Jerman, Belanda, Spanyol, Amerika dan lainnya.
Wisatawan, kata Marius, sangat tertarik mempelajari produk-produk budaya seperti rumah adat, pakaian adat, dan aksesoris budaya lainnya yang sarat dengan nilai-nilai filsafat budaya.
"Contohnya rumah adat berbentuk menara di Pulau Sumba yang memiliki makna filosofis tersendiri dari ujung atapnya hingga bagian paling bawah, ini yang menarik wisatawan asing untuk mempelajarinya, demikian juga produk budaya lainnya," katanya.
Menurut Marius, keaslian budaya itu meski terus dipertahankan masyarakat di desa wisata, selain itu perlu dilihat sebagai nilai jual yang besar untuk menarik kunjungan wisatawan ke desa-desa.
"Untuk itu mau tidak mau infrastruktur pendukung di desa-desa wisata kita harus siap dan memadai sehingga menjadi ramai dikunjungi wisatawan yang tentu manfaat ekonominya akan dirasakan langsung oleh masayrakat di daerah itu sendiri," demikian Marius Ardu Jelamu.
Ia mencontohkan, sejumlah desa wisata yang unik dan telah diikenal namun belum ramai dikunjungi karena akses jalan yang masih sulit seperti kampung adat Boawae di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores.
Selain itu, Kampung Bena dan Kampung Bela di Kabupaten Ngada, Desa Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pulau Tmor dan banyak desa wisata lainnya yang menyebar di Pulau Sumba, Sabu, Rote, dan Alor.
"Keluhan utama wisatawan itu terutama pada kesulitan akses jalan yang membuat waktu kunjungan mereka menjadi tidak efektif dan juga berdampak pada harga transportasi yang digunakan," katanya.
Atas kondisi itu, Marius mendorong setiap pemerintah dan masyarakat di desa wisata agar memanfaatkan sebagian anggaran dana desa yang nilainya bisa mencapai Rp1 miliar per desa untuk menyiapkan infrastruktur dasar itu secara memadai.
"Misalnya untuk membangun jalan setapak dengan bagus menuju desa wisata yang jauh dari jalan utama, maupun untuk kebutuhan membangun toilet yang bersih dan nyaman di desa wisata," katanya.
Menurutnya, wisata budaya di provinsi selaksa nusa itu semakin menggeliat dan seiring waktu terus menjadi incaran wisatawan mancanegara terutama dari Jerman, Belanda, Spanyol, Amerika dan lainnya.
Wisatawan, kata Marius, sangat tertarik mempelajari produk-produk budaya seperti rumah adat, pakaian adat, dan aksesoris budaya lainnya yang sarat dengan nilai-nilai filsafat budaya.
"Contohnya rumah adat berbentuk menara di Pulau Sumba yang memiliki makna filosofis tersendiri dari ujung atapnya hingga bagian paling bawah, ini yang menarik wisatawan asing untuk mempelajarinya, demikian juga produk budaya lainnya," katanya.
Menurut Marius, keaslian budaya itu meski terus dipertahankan masyarakat di desa wisata, selain itu perlu dilihat sebagai nilai jual yang besar untuk menarik kunjungan wisatawan ke desa-desa.
"Untuk itu mau tidak mau infrastruktur pendukung di desa-desa wisata kita harus siap dan memadai sehingga menjadi ramai dikunjungi wisatawan yang tentu manfaat ekonominya akan dirasakan langsung oleh masayrakat di daerah itu sendiri," demikian Marius Ardu Jelamu.