Kupang (Antaranews NTT) - Antropolog budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD mengatakan politik uang dalam pesta demokrasi lima tahunan itu sulit dicegah karena sudah menjadi budaya.
"Saya sama sekali tidak menganjurkan untuk mencegah politik uang oleh karena politik uang ini sudah masuk dalam sebuah budaya populer yang telah mengacau-balaukan tatanan kehidupan berdemokrasi di negeri ini," kata Pater Gregorius Neonbasu kepada Antara di Kupang, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu, menjawab pertanyaan seputar politik uang dalam pilkada serentak di NTT tahun 2018 dan upaya yang harus dilakukan penyelenggara untuk mencegahnya.
Pada tahun 2018 ini, di provinsi berbasis kepulauan itu akan menggelar pilkada serentak di sepuluh kabupaten, termasuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT periode 2018-2023.
Ke-sepuluh kabupaten yang akan menggelar pilkada bersamaan dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur itu adalah Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Sikka, Alor, Ende, Manggarai Timur, Nagekeo, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Rote Ndao.
Menurut Pater Gregorius, tidak ada satu partai politikpun yang akan menghindar diri dari politik uang, Artinya, semua parpol akan terlibat dan jumlahnya tergantung dari kembung tidaknya dompet bendahara partai politik.
Dia mengatakan, oleh karena pusat perhatian hanya pada politik uang maka proses politik dan kualitas hasil dari puncak pilkada tidak digubris secara matang.
"Hemat saya, ada semacam gempa politik yang sangat complicated, antara lain seperti gempa bumi dan bumi bergoyang-goyang karena ada sesuatu yang tidak beres dalam struktur internal bumi, maka semua parpol tengah menggigil ketakutan akibat tekanan batin dalam hati politisi," katanya.
Dan secara gradual, ada semacam perasaan perang dingin antarsesama anggota parpol, demikian Pater Gregor Neobasu, SVD.
Antropolog: Politik uang sudah membudaya
"Saya sama sekali tidak menganjurkan untuk mencegah politik uang oleh karena politik uang ini sudah masuk dalam sebuah budaya populer yang telah mengacau-balaukan tatanan kehidupan berdemokrasi di negeri ini," kata Pater Gregorius Neonbasu.