Antropolog: Sulit kawasan wisata jadi populer tanpa adanya promosi

id Gregor

Antropolog: Sulit kawasan wisata jadi populer tanpa adanya promosi

Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD.

Di mana-mana usaha pariwisata selalu unggul karena adanya promosi yang teratur dan cerdas. "Dalam arti, promosi merupakan satu hal penting dan terpokok dalam dunia pariwisata," tambahnya.
Kupang (AntaraNews NTT) - Antropolog budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregorius Neonbasu, SVD, PhD berpendapat sangat sulit bagi sebuah daerah wisata bisa populer tanpa adanya promosi.

"Artinya bahwa jika ingin terkenal maka promosi sebuah kawasan pariwisata harus dilakukan, kalau ada pelarangan tentu hal itu tidak akan berhasil," katanya kepada Antara di Kupang, Rabu (12/9).

Rohaniawan Katolik mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan komentar dari humas perusahaan PT Telekomunikasi Selular Nusa Tengara Teni Ginaya yang mengatakan ada daerah wisata tertentu di Provinsi Nusa Tenggara Timur malah melarang pemasangan jaringan telepon, seperti di obyek wisata Danau Weekuri di Sumba Barat Daya.

Akibat tidak adanya jaringan telepon dan listrik tersebut, sejumlah wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata Weekuri, mengeluh karena tidak bisa berkomunikasi dengan kalangan keluarganya saat berada di obyek wisata tersebut.

Menurut Pater Gregor, di mana-mana usaha pariwisata selalu unggul karena adanya promosi yang teratur dan cerdas. "Dalam arti, promosi merupakan satu hal penting dan terpokok dalam dunia pariwisata," tambahnya.

Ia menambahkan promosi itu dapat berupa keterangan dalam media baik itu media sosial, media cetak, serta usaha memperkenalkan dengan cara iklan, mengangkat keunggulan lokal atau hal-hal istimewa dari kawasan pariwisata. 

Baca juga: Artikel - Keajaiban alam Danau Weekuri
Pesona Danau Weekuri di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur yang menjadi salah satu pilihan wisata bagi para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Sumba. Namun, sayangnya, kawasan wisata tersebut dilarang untuk telepon dan listrik. (ANTARA Foto/Bernadus Tokan) 

Di samping itu, dia menilai bisa ya dan bisa tidak masyarakat setempat melarang agar hal-hal yang bersifat modern masuk ke kawasan itu apapun alasannya. 

"Kalau ya dalam arti pengaruh media modern harus digunakan untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas kekuatan dari sesuatu yang ingin dipasarkan sebagai komoditi unggul pariwisata. Tidak, dalam arti unsur pariwisata yang ditonjolkan adalah hal-hal lokal yang belum tersentuh arus modern," tambahnya.

Dosen Antropologi itu juga mengusulkan pemerintah hendaknya memadukan cara modern dan cara tradisional. Dalam arti berbagai media sosial yang sedang dikonsumsi masyarakat modern, hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Sementara itu, pemerintah juga harus bersikap lebih arief bijaksana menerapkan pola modern untuk membangun lokasi pariwisata agar lebih menarik minat pengunjung dari luar.

"Selain itu sikap pemerintah harus memberi repsek terhadap hal-hal tradisi dan budaya yang sering lebih menarik minat dari luar daerah pariwisata," demikian Pater Gregor Neonbasu.