Kupang (AntaraNews NTT) - Sepuluh kabupaten di Nusa Tenggara Timur akan menyelenggarakan pilkada serentak, yakni Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, dan Sikka.
Selain pentas politik lima tahunan di tingkat kabupaten, rakyat Nusa Tenggara Timur juga dihadapkan pada sebuah pesta demokrasi bernama pemilu gubernur untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 pada 27 Juni mendatang.
Sebelum berakhirnya masa pemerintahan kedua Gubernur Frans Lebu Raya bersama wakilnya Benny A Litelnoni (kini dipinang Benny K Harman menjadi wakilnya dalam ajang Pilgub NTT 2018) sudah banyak sekali wacana destruktif yang bertebaran di ruang publik politik NTT, yang isinya adalah fitnah dan politisasi isu SARA.
Bahkan, saling serang secara brutal antarpara tim sukses dan simpatisan yang kadang hadir dengan akun-akun palsu dan akun anonim di laman dunia maya.
"Ini menurut saya, sudah menggarisbawahi bahwa Pilgub NTT 2018 sedang mengulang praktik politik lama, yaitu pertarungan politik yang sangat brutal di putaran kedua Pilgub NTT 2013 silam," kata Mikhael Bataona, pengamat politik dari FISIP Universitas Widya Mandira Kupang.
Ia cukup yakin bahwa dalam menghadapi kampanye pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTT 2018 saat ini, tampaknya agak sulit untuk menghindari politisasi suku agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sejak Desember 2017, putra kelahiran Lamalera yang terkenal dengan wisata ikan pausnya itu, sudah mencatat banyak wacana destruktif yang bertebaran di ruang publik politik NTT, yang isinya adalah fitnah, politisasi isu SARA, terutama suka dan agama.
Guna mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, Bawaslu dan Panwas se-NTT pada Rabu (14/2) menggelar deklarasi menolak dan melawan politik uang dan politisasi SARA dalam Pilkada serentak 2018.
Acara deklarasi damai untuk melahirkan pilkada yang berintegritas itu, dihadiri pula oleh empat pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT.
Namun, catatan yang disodorkan Mikhael Bataona itu telah menggarisbawahi bahwa Pilgub NTT 2018 sedang mengulang praktik politik lama, sehingga perlu ada tim khusus dari KPU dan Bawaslu yang bertugas melakukan patroli ke semua grup diskusi dan akun media sosial pemilih di NTT.
Mungkin, ucapnya, tim dari KPU bisa bekerja sama dengan tim Cyber Crime dari Polda NTT atau menggandeng perguruan tinggi untuk menjaga situasi tetap kondusif dalam pertarungan opini di dunia maya, untuk menaikkan mutu demokrasi di NTT.
Sebagai orang kampus, dia sangat menghormati deklarasi damai dan menolak politisasi SARA tersebut.
Namun, ia mengemukakan tentang perlunya hal itu dikreasikan dalam wujud pesan-pesan simpatik yang nyata, seperti menggandeng tokoh agama dan tokoh adat berkeliling ke semua wilayah untuk bisa meredam gesekan di level kelas menengah kota dan masyarakat desa.
Dalam pandangannya, ia melihat bahwa deklarasi damai menolak politisasi SARA dan politik uang itu hanyalah sebuah tahapan yang secara prosedural memang harus dilalui, karena implementasinya di lapangan justru berbalik dan realitanya memang demikian.
Disebutnya bahwa politik gagasan yang cirinya adalah pertarungan ide secara terbuka di ruang publik politik NTT, masih "jauh panggang dari api".
Demokrasi di NTT dinilainya sebagai masih rendah mutu karena masih jauh dari model demokrasi berbasiskan adu gagasan yang oleh filosof Jurgen Habermas disebut sebagai demokrasi deliberatif.
Model diskusi
Kekhawatiran soal politisasi SARA itu menjadi sebuah permenungan bagi para pemikir di daerah ini, sehingga antropolog budaya dari Universitas Widya Mandira Kupang Pater Gregorius Neonbasu SVD menyarankan agar model kampanye yang perlu dikembangkan adalah berdiskusi dengan masyarakat.
Model kampanye dengan berdiskusi seperti ini, dinilainya paling cocok bagi para calon kepada daerah yang akan bertarung pada 27 Juni 2018, karena para kandidat dapat menanyakan langsung tentang kondisi dan kenyataan hidup yang sedang dihadapi masyarakat NTT saat ini.
Bagi rohaniawan Katolik itu, dengan berdiskusi secara langsung, menuntut setiap calon pemimpin untuk turun langsung ke lapangan memahami dengan jelas bagaimana kesulitan hidup yang dialami masyakarat.
Para calon itu, katanya, harus mendengar dan merasakan jeritan hati masyarakat di daerah-daerah pedalaman.
Mereka yang tinggal di desa-desa pedalaman memang terpencil, namun mereka kaya akan pengalaman untuk mempertahankan hidupnya. Hasil dari diskusi langsung itulah, yang kemudian dituangkan dalam berbagai program, visi, dan misi para calon terpilih yang akan memimpin NTT untuk lima tahun ke depan.
"Jadi tidak perlu lagi obal-obral janji di panggung politik, masyarakat sudah pintar dan tidak perlu diajar dengan visi, misi yang hanya enak didengar tetapi belum tentu diwujudnyatakan itu," kata Pater Gregor yang juga Ketua Dewan Riset Daerah NTT itu.
Meskipun demikian, Ketua MUI Nusa Tenggara Timur H. Abdul Kadir Makarim tetap optimistis bahwa semua Calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT yang bertarung dalam ajang Pilgub NTT 2018, memiliki komitmen yang kuat untuk menyejahterakan masyarakat daerah ini.
"Saya berkeyakinan bahwa semua calon berkomitmen untuk menyejahterakan masyarakat Flobamora --sebutan khas NTT (Flores, Sumba, Timor, dan Alor)-- agar bisa sejajar dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Yang paling penting tidak sekadar membuat janji manis yang meninabobokan, tetapi setelah duduk di kursi, lupa akan janjinya," katanya.
Atas dasar hal itu, ia mengajak seluruh komponen masyarakat daerah setempat untuk tetap menjaga dan memelihara kondisi kerukunan dan kedamaian yang sudah tertata dengan baik selama ini.
Ketua Komisi Kerasulan Awam Keuskupan Agung Kupang RD Florence Maxi Un Bria juga mengharapkan agar pelaksanaan pilkada di "Bumi Flobamora" berjalan aman dan damai dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
"Kami tentunya mengharapkan agar pilkada di NTT ini berjalan damai dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan juga menjunjung tinggi regulasi-regulasi yang sudah dicanangkan oleh pemerintah," katanya.
Nada yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua MUI Nusa Tenggara Timur Jamaluddin Dethan.
Pihaknya berharap Pilkada 2018 di NTT tanpa konflik sekecil apapun. Pilkada di 10 kabupaten dan Pilgub NTT harus berjalan dengan aman dan damai.
"Jangan sampai toleransi umat beragama yang sudah terjalin baik selama ini menjadi ternoda hanya karena gesekan politik dalam pilkada," tambahnya.
Berbagai isu atau politisasi SARA, hendaknya tidak disebarluaskan, baik melalui media sosial maupun media massa cetak dan elektronik, karena dapat menimbulkan konflik berkepanjangan.
Imbauan tersebut memberi sebuah pesan positif bahwa setiap pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur, Calon Bupati-Wakil Bupati bisa mengarahkan setiap pendukungnya untuk menjaga keamanan dan ketertiban, karena semua elemen masyarakat menghendaki adanya pilkada yang damai di "Bumi Flobamora".