Mengenal lebih dekat satu-satunya kelenteng di NTT

id Klenteng

Mengenal lebih dekat satu-satunya kelenteng di NTT

Klenteng Siang Lay yang berada di Kota Kupang. (Foto Antara/Kornelis Kaha)

Di salah satu sudut bangunan tua itu terdapat tumpukan kursi yang digunakan untuk berdoa bersama, sedangkan di sisi lain terdapat tempat untuk menjemur pakaian.
Kupang (AntaraNews NTT) - Satu kelenteng berdiri kokoh di pinggiran Kota Kupang, tepatnya di dekat terminal yang merupakan kawasan kota tua di Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bangunan berumur tua itu, bahkan satu-satunya kelenteng yang ada di provinsi berbasis kepulauan tersebut.

Nama bangunan tersebut adalah Kelenteng Siang Lay yang artinya Marga Lay. Kelenteng ini menjadi penanda kedatangan awal masyarakat Tionghoa ke Nusa Tenggara Timur.

Memasuki usianya yang sudah tak muda lagi, yakni 153 tahun, kelenteng itu sekarang sudah berubah nama menjadi Rumah Abu Keluarga Lay.

Kelenteng tua itu terlihat sepi dari pengunjung. Di salah satu sudut bangunan tua itu terdapat tumpukan kursi yang digunakan untuk berdoa bersama, sedangkan di sisi lain terdapat tempat untuk menjemur pakaian.

Robby Lay, pria yang tinggal bersama keluarganya berdampingan dengan kelentang itu, mengatakan bahwa dirinya dan keluarga berusaha untuk tetap menjaga dan merawat kelenteng tua tersebut agar tetap menjadi rumah doa yang bagus dan layak.

Ia menyebut bahwa kelenteng tersebut sebagai warisan leluhur sehingga ia bersama keluarga yang tinggal berdempetan dengan rumah abu itu berusaha untuk tetap menjaga dan merawatnya.

"Kalau bukan kami, siapa lagi yang akan merawatnya," ujar Robby. Peran dan fungsi kelenteng itu pun tidak seperti kelenteng pada umumnya di luar NTT yang sering ramai dikunjungi orang saat Tahun Baru Imlek.

Robby menceritakan bahwa kelenteng yang dibangun pada 1865 itu, pertama kali didirikan oleh Lay Foetlin dan Lay Lanfi. Oleh karena berbagai hal, dari tahun ke tahun kelenteng tersebut mengalami perombakan.

Seluruh bangunan utamanya tidak terbuat dari beton. Namun terbuat dari susunan batu-batu yang kokoh. Hal itu, karena pada era 1800-an belum terdapat beton besi untuk mendirikan suatu bangunan rumah yang kokoh.

Bangunan kelenteng di bagian dalam sebagai yang tak mengalami perombakan karena masih tetap berdiri dengan kokoh, sedangkan bagian depan sudah dirombak ulang.

Kelenteng itu sempat hancur saat terjadi Perang Dunia II dan kemudian dibangun kembali pada 1951. Renovasi atas kelenteng tersebut dilakukan pada 1970, 1973, dan 1975.
. Ruangan tempat berdoa bagi etnis Tionghoa.  (Foto ANTARA/Kornelis Kaha)

Robby mengatakan sebenarnya pada 1800-an cukup banyak etnis Tionghoa yang masuk ke NTT dan membangun banyak kelenteng.

Akibat Perang Ddunia II, cukup banyak kelenteng yang hancur dan hanya tersisa kelenteng yang berada di pinggiran Kota Kupang itu.

Saat ini, masih banyak warga keturunan Tionghoa yang membakar dupa dan berdoa di kelenteng itu, meskipun sebagian warga keturunan lainnya sudah berpindah keyakinan menjadi Kristen Katolik dan Kristen Protestan.

Mereka yang beragama Kristen Katolik disebutnya masih biasa membakar dan memegang dupa sambil berdoa di tempat itu, sedangkan mereka yang telah beragama Kristen Protestan hanya menggunakan "tangan kosong" ketika berdoa di tempat itu.

Kurang Pendanaan
Kelenteng yang kini menjadi rumah abu bagi keluarga Lay ini sudah sepatutnya dimasukkan dalam cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi NTT karena merupakan bagian dari sejarah etnis Tionghoa yang datang ke daerah setempat.

Untuk merawat bangunan kelenteng, pihaknya hanya mengandalkan dukungan dari keluarga besar, sedangkan perhatian dari pemerintah soal pendanaan masih belum ada hingga saat ini.

Peran pemerintah sangat diharapkan untuk pelestarian kelenteng dan kompleksnya itu karena tempat doa tersebut dapat juga menjadi cagar budaya.

Pada masa keluarga Ferry Ngahu merawat kelenteng itu, Robby mengatakan pernah ada orang yang datang dan mengambil gambar untuk dilaporkan ke pusat, agar ada anggaran perawatan yang bisa dikeluarkan untuk kelenteng tersebut.

Akan tetapi, sampai dengan saat ini belum ada juga kelanjutan dari hasil pengambilan foto atas kelenteng tersbeut. "Bahkan kami masih menunggunya," ucap dia.

Hal tersebut juga disampaikan Bobby Pitoby, salah satu warga keturunan Tionghoa yang sudah menetap cukup lama di Kupang dan memulai bisnisnya di Ibu Kota Provinsi NTT Itu.

Baginya, kelenteng adalah tempat doa bagi umat Konghucu dan juga menjadi dokumen sejarah penting bagi warga NTT yang ingin mengetahui keberadaan warga berkeyakinan tersebut di provinsi setempat.

"Ini justru bisa menjadi kawasan wisata baru bagi masyarakat NTT. Kalau bangunan ini tidak dijaga dan dirawat nantinya hanya akan tinggal nama saja dan generasi berikutnya tidak akan mengetahui bahwa dulu ada masyarakat Tionghoa yang pernah datang ke NTT," ujarnya.
Tulisan dalam bahasa Mandarin yang masih terukir di Klenteng Siang Lay. (Foto ANTARA/Kornelis Kaha) 

Harapan Warga
Harapan dari beberapa warga keturunan Tionghoa di Kupang atas perhatian terhadap kelenteng setempat, menjadi cambuk bagi Pemerintah Provinsi NTT, khususnya Dinas Kebudayaan NTT, untuk mewujudkan menjadi usaha pelestarian.

Terhadap keberadaan bangunan tua itu, perlu dilakukan pencatatan secara baik sebagai satu-satunya kelenteng di Kupang yang harus dijaga dan dirawat dengan baik.

Pemerintah daerah setempat juga mengakui bahwa keberadaan kelenteng itu bisa menjadi kawasan wisata baru di NTT. Selain berwisata, masyarakat akan tahu tentang sejarah masuknya warga etnis Tionghoa ke NTT.

"Kita akan data secepatnya dan akan usulkan ke pemerintah agar ini manjadi cagar budaya sehingga bisa dijaga keberadaannya," kata Kepala Dinas Kebudayaan NTT Sinun Petrus Manuk.

Namun, ia mengatakan bahwa proses menjadikan cagar budaya atas bangunan tersebut diperlukan waktu yang lama, termasuk membutuhkan kesediaan yang kuat dari pengurus Kelenteng Siang Lay.