Kupang (AntaraNews NTT) - Pada permulaan abad ke-20, para astronom sudah mulai menyadari tentang pentingnya ilmu perbintangan dan sistem galaksi yang dibentuk, sehingga berkeinginan untuk meneliti dan memahami struktur galaksi lewat sebuah observatorium yang representatif.
Ide untuk membangun observatorium di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada saat itu, dikemukakan oleh insinyur astronom kelahiran Madiun, Jawa Timur Joan George Erardus Gijsbertus Vo'te.
Dia melihat penelitian astronomi terhambat karena kurangnya jumlah observatorium dan pengamat di belahan bumi selatan, sehingga mendorongnya untuk meneliti di Cape Observatory, Afrika Selatan, namun kurang mendapat dukungan dari pemerintahan setempat.
Gijsbertus Vo'te akhirnya kembali ke Batavia (sekarang Jakarta) namun terus berusaha mempengaruhi beberapa astronom di Belanda untuk membangun observatorium di Hindia Belanda.
Usahanya mulai menampakkan hasil setelah Gijsbertus Vo'te menjalin persahabatan dengan pengusaha kaya Karel Albert Rudolf Bosscha dan Rudolf Albert Kerkhoven.
Bosscha kemudian mengumpulkan pengusaha dan orang-orang terpelajar untuk membentuk organisasi Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV atau Perkumpulan Astronom Hindia Belanda) untuk menyalurkan uang bagi pembangunan observatorium.
Hingga tahun 1928, saat uang sudah terkumpul sekitar 1 juta gulden, Gijsbertus Vo'te bersama kawan-kawannya dari NISV mulai merintis pembangunan Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat.
Namun, hingga saat ini, kondisi di sekitar Observatorium Bosscha dianggap sudah tidak layak untuk mengadakan pengamatan, karena mulai tumbuhnya pemukiman padat penduduk di daerah Lembang dan Bandung Utara yang semakin tidak terkendali.
Akibatnya, banyak intensitas cahaya dari kawasan pemukiman yang menyebabkan terganggunya penelitian atau kegiatan peneropongan yang seharusnya membutuhkan intensitas cahaya lingkungan yang minimal menjadi terganggu.
Dengan demikian, observatorium yang pernah dikatakan sebagai observatorium satu-satunya di kawasan khatulistiwa ini menjadi terancam keberadaannya.
Polusi cahaya yang semakin mengganggu akibat dari pemukiman penduduk dan pusat bisnis di sekitar Lembang, Jawa Barat yang tampaknya melatari rencana pemindahan Observatorium Bosscha ke luar Pulau Jawa.
Tim riset astronomi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) kemudian memilih Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur sebagai lokasi pembangunan Observatorium pengganti Bosscha, karena langitnya jauh lebih terang.
"Mungkin ini alasan ilmiahnya sehingga kami memilih Kupang sebagai lokasi pengganti pembangunan Observatorium Bosscha untuk lebih memajukan lagi bidang antariksa di Indonesia," kata Dr Mahesena Putra, Kepala Observatorium Bosscha.
Gunung Timau
Tim riset astronomi dari ITB kemudian menentukan pilihannya ke Gunung Timau, sebagai pusat pembangunan Observatorium. Gunung ini terletak di wilayah Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang itu, akan menjadi pusat perhatian para peneliti dunia, karena dapat melihat tata surya dari segala penjuru.
"Susunan tata surya bisa dilihat dari berbagai penjuru di tempat itu, baik dari sisi utara maupun selatan," kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Jamaluddin.
Kawasan Gunung Timau yang terletak sekitar 65 kilometer arah timur laut Kupang ini memiliki topografis yang bergelombang dan terjal. Bentangan kawasan hutan mulai dari ketinggian 200 meter di atas permukaan laut dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti hutan kayu ampupu (eucalyptus urophylla) dan hutan semi awet hijau.
Pada daerah yang lebih rendah ditutupi oleh hutan savana yang ditumbuhi oleh pohon permen putih atau permen khaki (eucalyptus alba), cemara gunung (casuarina junghuhniana), dan regenerasi hutan semiluruh daun.
Kawasan ini mencakup hutan dataran rendah yang terbaik dan terluas di Pulau Timor bagian barat, Nusa Tenggara Timur.
Kawasan sekitar Gunung Timau memiliki luas sekitar 15.000 hektare dengan ketinggian 500-1.774 meter di atas permukaan laut sehingga cocok untuk pembangunan observatorium tersebut.
Menurut Jamaluddin, observatorium yang akan dibangun di pegunungan Timau itu, tampaknya tidak dimiliki oleh negara lain karena dapat melihat sistem galaksi dan astronomi dengan mata telanjang.
Ia mencontohkan observatorium yang dimiliki Australia, hanya dapat melihat tata surya dari bagian selatan, sedang observatorium Jepang dan Amerika hanya melihat tata surya dari bagian utara saja.
Kalau observatorium di Pegunungan Timau bisa melihat tata surya dari bagian utara maupun selatan. Kelebihan itulah yang mendorong Lapan untuk membangun observatorium di sana.
Untuk membangun Observatorium di Pegunungan Timau, Lapan mengusulkan penganggaran sebesar Rp300 miliar, yang diharapkan sudah dimulai pada tahun anggaran 2019.
Lokasi di Pegunungan Timau itu dinilai strategis, karena kondisi cakrawala masih sangat cerah dan mudah memantau berbagai benda langit.
Sekretaris Utama Lapan Ignatius Loyola Arisdiyo menuturkan, tim survei yang terdiri dari Lapan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengunjungi calon lokasi Observatorium di Gunung Timau.
"Saya baru pertama kali melihat galaksi kita seperti apa. Sangat indah. Dengan mata telanjang saja bisa terlihat, apalagi nanti jika sudah ada teleskop yang berdiameter 3,5 meter," ujar Loyola.
Terkendala jalan
Lapan yang berencana untuk membangun observatorium di Pegunungan Timau pada 2019, tampaknya masih terkendala dan terhambat dengan pembangunan jalan poros tengah di Kabupaten Kupang, karena belum selesai dikerjakan juga.
Pelaksana Tugas Sekda Kupang Mahlon Joni Nomseo mengharapkan pemerintah pusat segera melanjutkan membangun jalan poros tengah sepanjang 20 kilometer untuk mendukung pembangunan observatorium milik Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (Lapan) di Pegunungan Timau.
"Kami sudah usulkan melalui Balai Peningkatan Jalan Nasional (BPJN) X Kupang agar pembangunan jalan menuju lokasi Observatorium di pegunungan Timau dilanjutkan, karena proyek pembangunan Observatorium itu merupakan proyek nasional," katanya.
Proyek observatorium belum bisa dikerjakan saat ini karena terkendala jalan yang belum memadai untuk dilintasi kendaraan berat, sehingga pembangunan jalan poros tengah itu diharapkan sudah bisa dilanjutkan dalam tahun 2018 ini.
Berbagai fasilitas termasuk kendaraan berat milik Lapan sudah ada di Kupang, namun belum bisa menuju ke Pegunungan Timau karena kondisi jalan yang masih rusak dan belum memadai.
Atas dasar itu, Pemerintah Kabupaten Kupang mengharapkan kelanjutan pembangunan jalan poros tengah untuk mempermudah pihak Lapan membangun Observatorium di Pegunungan Timau, yang diharapkan sebagai salah satu upaya dalam memajukan bidang antariksa di Indonesia.
Memajukan bidang antariksa dari pegunungan Timau
Untuk membangun Observatorium di Pegunungan Timau, Lapan mengusulkan penganggaran sebesar Rp300 miliar, yang diharapkan sudah dimulai pada tahun anggaran 2019.