Kupang (AntaraNews NTT) - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat, indeks harga konsumen (IHK) di provinsi itu mengalami deflasi sebesar 0,15 pesen pada Februari 2018.
"Deflasi pada Februari 2018 ini terjadi karena adanya penurunan indeks harga pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan, serta kelompok bahan makanan," kata Kepala BPS NTT Maritje Pattiwaellapia di Kupang, Kamis.
Ia menyebut, dua kelompok pengeluaran yang memiliki andil besar terhadap deflasi ini yakni bahan makanan sebesar 0,02 persen dan transportasi 1,61 persen.
Sedangkan kelompok lainnya mengalami kenaikan indeks harga yang mana kenaikan tertinggi pada kelompok makanan jadi sebesar 0,51 persen, katanya.
Maritje mengatakan, namun kondisi IHK di provinsi tersebut berbeda dengan kondisi nasional yang mengalami inflasi sebesar 0,17 persen pada Februari 2018.
Pada Februari 2018, lanjutnya, dari 82 kota yang dijadikan sampel perhitungan IHK Nasional, terdapat 55 kota mengalami inflasi sementara 27 kota mengalami deflasi.
Ia menjelaskan, perhitungan IHK di NTT sendiri dilakukan di dua kota yaitu Kota Kupang dan Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka di Pulau Flores.
"Masing-masing Kota Kupang mengalami deflasi sebesar 0,25 pesen, sedangkan Kota Maumere mengalami inflasi 0,48 persen," katanya.
Namun, katanya, kalau ditelusuri kondisi inflasi tahun kalender 2017 maka Kota Kupang masih mengalami inflasi sebesar 0,8 persen dan `year on year` atau dari Februari 2018 terhadap Februari 2017 sebesar 1,88 persen.
Kota Maumere mengalami inflasi untuk tahun kalender 2017 sebesar 0,65 persen dan `year on year` sebesar 2 persen.
"Inflasi di Kota Maumere memang cuku tinggi karena mencapai angka 2 persen," katanya menegaskan.
Sementara itu, kondisi IHK secara provinsi masih mengalami inflasi sebesar 0,78 persen berdasarkan tahun kalender 2017, dan secara `year on year` mengalami inflasi sebesar 1,89 persen.
Nilai tukar petani
Di bagian lain penjelasannya, Maritje Pattiwaellapia mengatakan nilai tukar petani (NTP) Nusa Tenggara Timur selama Januari-Februari 2018 naik sebesar 0,03 persen.
"Nilai tukar petani di NTT ini naik pada Januari 2018 sebesar 104,79 persen menjadi 104,82 persen atau sedikit mengalami kenaikan sebesar 0,03 persen pada Februari 2018," katanya..
Ia mengatakan, indikator NTP itu menggambarkan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar, selain itu juga menggambarkan kondisi inflasi di pedesaan.
Menurutnya, naiknya NTP tersebut menunjukkan bahwa kemampuan daya beli dan daya tukar petani cederung naik dibandingkan periode sebelumnya.
Maritje menyebut, indeks harga yang diterima petani Januari-Februari 2018 naik sebesar 0,81 persen, sementara harga yang dibayar petani juga mengalami kenaikan sebesar 0,78 persen.
"Memang produksi pertanian dan kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangga petani yang juga mengalami kenaikan namun masih lebih rendah di bandingkan penerimaan petani," katanya.
Maritje menyebut, NTP Januari-Februari 2018 itu dicermati dari lima subsektor di antaranya, perikanan, peternakan, perkebunan rakyat, holtikultura, serta padi dan palawija.
Dari lima subsektor itu, lanjutnya, tiga di antaranya mengalami penurunan NTP yaitu perikanan sebesar 1,02 persen, peternakan 0,63 persen, dan holtikultura 1,28 persen.
Sementara subsektor perkebunan rakyat naik 1,26 persen bersama padi dan palawija yang naik 0,45 persen.
"Khusus subsektor padi dan palawija ini naik karena kita lihat secara nasional juga ada perubahan harga gabah sehingga berpengaruh," katanya.
Lebih lanjut, Maritje menejelaskan untuk kelompok konsumsi rumah tangga atau inflasi pedesaan pada Januari hingga Februari 2018 juga mengalami inflasi sebesar 0,88 persen.
"Kondisi ini mengartikan bahwa harga-harga di pedesaaan juga mengalami inflasi," katanya.
Ia menambahkan, namun tren inflasi pedesaan pada Februari 2018 ini lebih rendah dibandingkan pada Februari 2017 sebesar 1,09 persen.