Kupang (AntaraNews NTT) - Dalam sejarah perjalanan pemilu kepala daerah di Indonesia, Pilkada 2018 tampaknya memiliki riwayat paling kelam dalam catatan lembaran negara.
Pasalnya, sejumlah calon kepala daerah yang hendak maju dalam ajang politik lima tahunan itu, terjaring Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangan tangan (OTT), karena terindikasi korupsi.
Sejak September 2017, hingga menjelang penetapan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Satgas KPK menangkap sedikitnya enam calon kepala daerah yang akan bertarung dalam Pilkada 2018.
"Proses hukum tetap berjalan walau status mereka sebagai peserta pilkada," kata Ketua KPK Agus Rahardjo terhadap para calon kepala daerah yang terjaring KPK dalam OTT.
Bupati Ngada Marianus Sae, misalnya, dijaring KPK dalam sebuah OTT di Surabaya, Jawa Timur pada Minggu (11/2), sehari menjelang penetapannya sebagai calon Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2018-2023.
Marianus yang diusung PDI Perjuangan dan PKB itu diduga menerima suap senilai Rp4,1 miliar dari Wilhelmus Iwan Ulumbu, seorang kontraktor di Kabupaten Ngada. KPK menduga, uang suap tersebut akan digunakan Marianus sebagai ongkos politik dalam menghadapi Pilgub NTT 2018.
Satgas KPK juga menangkap Bupati Subang Imas Aryumningsih di rumah dinasnya pada 13 Februari 2018, Imas yang akan maju kembali menjadi calon kepala daerah Subang dalam Pilkada 2018 itu, diduga telah menerima suap sebesar Rp1,4 miliar dalam izin prinsip penggunaan lahan untuk mendirikan pabrik di lahan milik negara.
KPK juga menciduk Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko di Stasiun Balapan Solo pada 3 Februari 2018 atas dugaan menerima suap dalam proses pengurusan jabatan di Pemerintahan Jombang, Jawa Timur.
KPK berhasil mengamankan Rp25 juta dan 9.500 dolar AS yang diduga merupakan hasil suap. Nyono yang telah mencalonkan diri untuk kembali bertarung dalam Pilkada 2018, diduga menerima suap sebesar Rp275 juta dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Silestyanti untuk ditetapkan sebagai kepala dinas definitif.
Sementara Bupati Lampung Tengah Mustafa dijaring dalam operasi senyap KPK pada 15 Februari 2018 atas dugaan menyogok wakil ketua dan anggota DPRD Lampung Tengah untuk memuluskan langkah pemda meminjam dana sebesar Rp300 miliar kepada PT Sarana Multi Infrastruktur.
Mustafa yang juga calon Gubernur Lampung yang akan bertarung dalam Pilkada 2018, harus berurusan hukum dengan KPK. Kisah yang sama juga dialami oleh Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur Rita Widyasari.
Calon Gubernur Kalimantan Timur yang diusung Partai Golkar itu diduga menerima gratifikasi sebesar Rp436 miliar yang bersumber dari pemberian fee atas proyek, perizinan, pengadaan barang dan jasa yang menggunakan APBD Kutai Kartanegara.
Bupati Klaten Sri Hartini terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK atas tuduhan melanggengkan dinasti politik di sana.
Keenam calon kepala daerah tersebut telah berubah status menjadi tersangka KPK, namun hak politik mereka sebagai calon kepala daerah tetap legal untuk dipilih dalam ajang pilkada serentak yang berlangsung pada 27 Juni 2018.
Perlu regulasi baru
Hal mendasar dan terus mengiang sampai saat ini adalah bagaimana kalau mereka terpilih menjadi kepala daerah?
Disinilah mentalitas rakyat sebagai pemilih benar-benar diuji. Rakyat hendaknya menjadi pemilih yang cerdas terhadap rekam jejak seorang calon pemimpin.
Memang itulah yang tampaknya menjadi harapan bersama, karena tidak mungkin bagi rakyat untuk memilih seorang pemimpin yang nota bene adalah tahanan KPK.
Namun, atas dasar asas legalitas tersebut, seorang calon pemimpin yang terindikasi korupsi oleh KPK berpeluang meraih kemenangan dalam sebuah pertarungan politik bernama pilkada itu.
Atas dasar itu, pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Michael Bataona berpendapat pemerintah, DPR dan KPU perlu membuat regulasi baru terkait calon kepala daerah yang berstatus sebagai tersangka.
Menurut staf pengajar pada FISIP Unwira Kupang tersebut, status hukum yang disandang para calon kepala daerah sebagai tersangka, masih memungkinkan untuk terpilih rakyat.
"Saya melihat ada semacam kekacauan persepsi akibat belum jelasnya aturan tersebut. Namun, harus diingat bahwa proses politik itu dapat menghasilkan apa yang disebut legitimasi rakyat lewat pemilihan langsung untuk kemudian diproses menjadi sebuah ketetapan yang legal formal atau legitimatif," katanya.
Artinya, ketika seorang tersangka KPK, misalnya, bisa dipilih oleh rakyat menjadi pemimpin maka akan terjadi sebuah persoalan baru, sebab tersangka yang terpilih adalah seorang pemimpin yang mendapat legitimasi publik.
Bataona menyadari bahwa legitimasi dari rakyat itu pasti tidak akan mendapat legalitas dari KPU, karena status hukum kepala daerah tersebut. Tetapi, hal ini menjadi sebuah dilema, karena di satu sisi publik sudah memberi legitimasi tapi di sisi yang lain figur tersebut tidak akan mendapat legitimasi hukum.
Dalam pandangannya bahwa demokrasi itu alat, bukan tujuan, sehingga untuk mencapai model demokrasi yang ideal, perlu adanya perubahan-perubahan aturan sepanjang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi itu.
Dengan tidak jelas dan tegasnya aturan tentang hal ini, rakyat justru dirugikan karena legitimasi yang berikan oleh rakyat justru dimentahkan oleh asas legalitas yang juga berlaku di negara demokrasi seperti Indonesia.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, rakyat diperhadapkan pada dilema antara legitimasi yang mereka berikan dengan legalitas yang diberikan oleh negara, padahal dalam negara hukum, semua bentuk legalitas juga membutuhkan legitimasi publik.
"Apabila legitimasi publik dibatalkan oleh asas legalitas negara hukum, maka perlu dicarikan solusi agar publik sejak awal jangan sampai diberi pilihan untuk harus memilih pihak-pihak yang bermasalah secara hukum," katanya.
Namun, pemimpin yang masih melakukan tindak pidana korupsi seperti dugaan terhadap enam calon kepala daerah yang sedang menjalani proses hukum di KPK tersebut, memang sudah sepantasnya diberikan sanksi yang berat.
Bila suatu bangsa atau daerah ingin maju, maka para pemimpinnya harus bersikap bijaksana dan jujur terhadap segala konsekuensi yang didapatnya, agar rakyat benar-benar menjatuhkan pilihannya tepat dalam pesta demokrasi mendatang, bukan memilih pemimpin yang telah menjadi tahanan KPK.
Lipsus - Memilih kepala daerah dalam tahanan KPK
Memang itulah yang tampaknya menjadi harapan bersama, karena tidak mungkin bagi rakyat untuk memilih seorang pemimpin yang nota bene adalah tahanan KPK.