Kupang (AntaraNews NTT) - Kerugian sosial ekonomi rakyat Nusa Tenggara Timur akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009 diperkirakan mencapai 5,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp55 triliun.
"Namun, pihak Australia hendak menguburnya dengan dana bantuan sosial perusahaan CSR (Corporate Social Responsibility)," kata Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni di Kupang, Sabtu (7/4), mengutip hasil pertemuan CEO PTTEP Bangkok dengan Dubes Indonesia untuk Jerman Arif Havas Oegroseno di Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Dalam pertemuan tersebut kedua belah pihak bersepakat untuk membayar kerugian korban Montara dengan dana CSR sebagai uang kompensasi.
Tanoni yang juga mantan agen Imigrasi Australia itu mengatakan kerugian yang dialami para petani rumput laut dan nelayan sebesar Rp55 triliun itu belum termasuk kerugian soal kerusakan lingkungan akibat penyemprotan bubuk kimia oleh Australia untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dalam dasar laut Timor mencapai sekitar Rp10 triliun.
Pertemuan yang diakukan Arif Havas Oegroseno tanpa kehadiran Pemerintah Daerah NTT dan perwakilan rakyat korban itu sebagai sebuah bentuk konspirasi tingkat tinggi yang hanya mau mengorbankan rakyat NTT sebagai obyek utama kerugian dalam kasus Montara.
Berdasarkan Perpres Nomor 109 tahun 2006, kasus pencemaran Laut Timor ini seharusnya dikendalikan oleh Menteri Perhubungan RI selaku Ketua Tim Nasional Penaggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Baca juga: Feature - Mengharapkan kerja nyata Montara Task ForceTanoni yang juga pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor ini menggambarkan bahwa angka kerugian yang dialami 15.843 petani rumput laut di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao yang perkaranya sedang berlangsung di Pengadilan Federal Australia hingga 2015 saja sudah mencapai 600 juta dolar Australia atau setara Rp6 triliun.
Hitungan ini berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan oleh tim hukum dan akuntan Australia terhadap orang per orang, sehingga kerugian petani rumput laut yang menyebar di 13 kabupaten/kota se-NTT bisa mencapai Rp20 triliun, sedang kerugian yang dialami para nelayan diperkirakan mendekati Rp35 triliun.
"Jika akhirnya Pemerintah RI menyetujui untuk menerima dana CSR sebagaimana yang dirancang oleh Arif Havas Oegroseno ini maka hal itu sama dengan melakukan penghinaan yang keji terhadap bangsa dan rakyat sendiri," ujarnya.
Ia mengatakan antara rezim dana CSR dan kompensasi sangat jauh berbeda sehingga jika Pemerintah menerima dana CSR tersebut maka rakyat tak akan lagi menerima kompensasi.
Tanoni kemudian mencontohkan kasus tumpahan minyak Exxon Valdez di Teluk Alaska 1989. Ketika itu, Pemerintah Amerika Serikat menerima dana CSR dari Exxon, akhirnya rakyat korban tidak menerima lagi dana kompensasi.
"Rakyat Alaska kemudian membawa kasus tersebut ke Pengadilan, namun kompensasi yang diterima sama sekali tidak memadai selama hampir 20 tahun perkara tersebut bergulir," katanya.
Baca juga: Kasus Montara sebuah pengkhianatan HAM
Menurut Tanoni, pengalaman pahit ini yang perlu dipelajari bangsa Indonesia agar tidak ditipu oleh PTTEP. "Kami meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan langkah Arif Havas Oegroseno yang telah memperlakukan rakyat NTT seperti warga negara kelas III di Indonesia," ujarnya.
Pihaknya juga meminta Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri kasus pencemaran Laut Timor ini, karena Arif Havas Oegroseno mengatasnamakan Pemerintah RI dan memposisikan Pemerintah RI untuk berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri dalam penyelesaian kasus ini.
"Ada banyak hal aneh dan janggal yang diperankan oleh Arief Havas Oegroseno dan stafnya bersama Kementerian Lingkungan Hidup RI yang diduga bertujuan untuk mengorbankan rakyat NTT yang sudah menderita 9 tahun ini dan menguntungkan PTTEP dan Australia," katanya.
Dalam kasus pencemaran Laut Timor ini, kata Tanoni, ada keterlibatan sebuah perusahaan asal Norwegia dan Amerika Serikat, sehingga pihaknya meminta bantuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membantu menyelesaiakannya.