New York (ANTARA) - Harga minyak jatuh pada akhir perdagangan Rabu, (13/10) Kamis pagi WIB, di tengah kekhawatiran bahwa pertumbuhan permintaan minyak mentah akan melambat, yang memakan keuntungan baru-baru ini yang telah membawa harga ke tertinggi multi-tahun dalam beberapa sesi terakhir.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember terpangkas 24 sen atau 0,3 persen, menjadi menetap di 83,18 dolar AS per barel.
Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk penyerahan November tergerus 20 sen atau 0,3 persen, menjadi ditutup di 80,44 dolar AS per barel.
Para analis mencatat bahwa beberapa pedagang kemungkinan mengambil keuntungan dalam minyak mentah AS setelah kontrak berjangka WTI mencapai tertinggi sejak Oktober 2014 selama tiga sesi terakhir.
Harga berada di bawah tekanan awal ketika China, importir minyak mentah terbesar dunia, merilis data yang menunjukkan impor September turun 15 persen dari tahun sebelumnya.
Pasar sedang menunggu data persediaan minyak AS yang diperkirakan para analis akan menunjukkan peningkatan 0,7 juta barel dalam stok minyak mentahnya.
Data dari American Petroleum Institute (API), sebuah kelompok industri, dijadwalkan pada pukul 16.30 waktu setempat (20.30 GMT) pada Rabu (13/10/2021) dan dari Badan Informasi Energi AS pada Kamis (14/10/2021). Data tersebut tertunda sehari setelah liburan Hari Columbus pada Senin (11/10/2021).
Kekurangan batu bara dan gas alam di China, Eropa, dan India telah mendorong harga bahan bakar yang digunakan untuk pembangkit listrik lebih tinggi. Produk minyak digunakan sebagai pengganti.
Komisi Eropa menguraikan langkah-langkah yang dapat digunakan Uni Eropa untuk memerangi lonjakan harga energi, dan mengatakan akan menjajaki pembelian gas bersama di antara negara-negara.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak dunia untuk tahun 2021 sambil mempertahankan prospek tahun 2022.
Tetapi OPEC mengatakan lonjakan harga gas alam dapat meningkatkan permintaan produk minyak karena pengguna akhir beralih.
"Laporan bulanan OPEC hari ini tampaknya menawarkan sesuatu untuk bullish dan bearish dengan badan itu secara tak terduga mengurangi perkiraan permintaan minyak global mereka ... untuk tahun ini sambil menyesuaikan perkiraan pertumbuhan pasokan non-OPEC mereka turun," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates di Galena, Illinois.
Pasar global seharusnya tidak memperkirakan lebih banyak minyak dari Iran dalam waktu dekat. Amerika Serikat mengatakan siap untuk mempertimbangkan "semua opsi" jika Iran tidak mau kembali ke kesepakatan nuklir 2015.
Di Rusia, Presiden Vladimir Putin mengatakan harga minyak bisa mencapai 100 dolar AS per barel dan mencatat bahwa Moskow siap menyediakan lebih banyak gas alam ke Eropa jika diminta.
Pasar energi terfokus pada bagaimana krisis pasokan akan mempengaruhi permintaan minyak, terutama di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, China.
“Ini adalah masa-masa sulit bagi China. Krisis energi yang parah mencengkeram negara ini,” kata Stephen Brennock dari broker PVM.
Di India, yang mengalami kekurangan listrik terburuk sejak 2016 karena kekurangan batu bara, konsumsi bahan bakar merangkak lebih tinggi pada September karena aktivitas ekonomi meningkat. India adalah importir minyak terbesar ketiga di dunia.
Di Amerika Serikat, pemerintah memproyeksikan konsumen akan menghabiskan lebih banyak untuk memanaskan rumah mereka di musim dingin ini daripada tahun lalu sebagian besar karena melonjaknya harga energi.
Gedung Putih telah berbicara dengan para produsen minyak dan gas AS tentang membantu menurunkan kenaikan biaya bahan bakar.
Bensin dan diesel berjangka AS ditutup pada level tertinggi sejak Oktober 2014 pada Rabu (13/10/2021).