Daya beli petani NTT meningkat

id BPS

Daya beli petani NTT meningkat

Kepala BPS Nusa Tenggara Timur Maritje Pattiwaellapia sedang memberikan keterangan kepada pers di Kupang, Rabu (1/8).

Kepala BPS NTT Maritje Pattiwaellapia menyatakan, daya beli petani di provinsi berbasis kepulauan ini telah meningkat selama tiga bulan terkahir yakni Mei hingga Juli 2018 akibat meningkatnnya nilai tukar petani.
Kupang (AntaraNews NTT) - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Timur (NTT) Maritje Pattiwaellapia menyatakan, daya beli petani di provinsi berbasis kepulauan ini telah meningkat selama tiga bulan terkahir yakni Mei hingga Juli 2018 akibat meningkatnnya nilai tukar petani.

"Kondisi nilai tukar petani di NTT berturut-turut dari Mei 104,69 persen, Juni 105,26 persen, dan Juli 106,42 persen yang mengartikan daya beli petani semakin meningkat," kata Maritje kepada pers di Kupang, Rabu (1/8).

Ia menjelaskan, peningkatan daya beli itu dikarenakan biaya yang dikeluarkan petani lebih kecil dari yang diterima, baik untuk konsumsi maupun produksi.

Ia menyebut, nilai tukar petani pada Juli 2018 meningkat pada sejumlah sub sektor seperti tanaman padi-palawija mencapai 106,66 persen, holtikultura 103,76 persen.

Selain itu, sub sektor perkebunan rakyat mencapai 106,79 persen, peternakan 107,35 persen, dan perikanan mencapai 110,97 persen. "Jadi semua sub sektor meningkat. Hal ini juga karena kondisi cuaca yang berdampak pada beberapa sub sektor ini," katanya.

Lebih lanjut, Maritje menjelaskan terkait inflasi di wilayah pedesaan atau yang disebut konsumsi rumah tangga sedikit mengalami inflasi pada Juli 2018 sebesar 0,23 persen. Umumnya semua kebutuhan rumah tangga mengalami inflasi, namun tidak terlalu tinggi dibandingkan indeks harga yang diterima petani.

Maritje menjelaskan, kebutuhan untuk biaya produksi petani pada Juli 2018 tercatat meningkat dibandingkan Juni yaitu sebesar 0,11 persen. Peningkatan biaya ini khususnya pada belanja sejumlah barang modal seperti linggis, pukat tarik, jukung, dan gerobak.

 "Memang ada kenaikan biaya produksi, tetapi masih bisa dijangkau para petani karena penerimaan mereka masih lebih besar," demikian 
Maritje Pattiwaellapia.
Baca juga: Faktor penerbangan menjadi penyebab terjadinya inflasi di NTT

Deflasi 0,13 persen
Maritje Pattiwaellapia juga mengemukakan bahwa indeks harga konsumen (IHK) Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami deflasi sebesar 0,13 persen pada Juli 2018.

"Deflasi ini terjadi akibat adanya penurunan harga pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan," katanya dan menambahkan kondisi inflasi di daerah setempat pada Juli 2018 masih sangat terkendali, sebab secara year on year (yoy) atau Juli 2018 terhadap Juli 2017 IHK tercatat mengalami inflasi 1,58 persen.

Ia menjelaskan, pada Juli 2018 IHK pada kota sampel nasional di provinsi setempat yakni Kota Kupang mengalami deflasi sebesar 0,19 persen. Sedangkan Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka di Pulau Flores mengalami inflasi 0,29 persen.

Maritje menyebut, kelompok pengeluaran yang mendorong terjadinya deflasi yakni tranportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 1,39 persen dengan andil 0,34 persen.

Komponen yang mengalami deflasi terbesar yaitu angkutan udara sebesar 0,38 persen, selain sawi putih 0,13 persen,bawang merah 0,09 persen, tomat sayur 0,08 persen, cabai merah 0,03 persen.

Komoditas seperti daun seledri, ikan teri, kubis, bawang putih, kembang kol juga masih-masih mengalami deflasi di bawah 0,03 persen. "Jadi andil terbesar untuk deflasi pada Juli yaitu angkutan udara dengan andil 0,38 persen," katanya.

Ia menjelaskan, harga angkutan udara mengalami penurunan cukup signifikan karena musim liburan sudah selesai sehingga permintaan tiket pesawat tidak melonjak.

"Secara nasional komponen transportasi, komunikasi, maupun jasa juga deflasinya cukup tinggi sebesar 1,93 persen dengan andil 0,34 persen," katanya.

Baca juga: NTT alami deflasi 0,04 persen