Labuan Bajo (ANTARA) - Dinas Kesehatan Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur gencar melakukan sosialisasi dan penyuluhan berkelanjutan tentang HIV/AIDS dan deteksi dini untuk menghilangkan stigma negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
"Kami telah melakukan berbagai sosialisasi dan penyuluhan yang berkelanjutan tentang HIV/AIDS masyarakat termasuk untuk menghilangkan stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHA," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat Fransiskus Dulla Kurniawan Gibbons di Labuan Bajo, Jumat, (2/12/2022).
Dinas Kesehatan Manggarai Barat mencatat 30 orang positif terinfeksi HIV yang menyebabkan terjadinya penyakit yang merusak sistem kekebalan tubuh atau AIDS selama bulan Januari-November 2022.
Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi selama empat tahun terakhir, yang mana jumlah ODHA di Manggarai Barat tahun 2019 sebanyak 25 orang, naik menjadi 27 orang pada tahun 2020, namun sempat menurun pada tahun 2021 sebanyak 19 orang.
Fransiskus menyebut penyebab utama dari masih adanya kasus HIV/AIDS di Manggarai Barat adalah aktivitas hubungan seksual secara bebas. Oleh karena itu, dinas pun melakukan sosialisasi dan penyuluhan yang berkelanjutan khususnya bagi para pelajar sekolah.
Selanjutnya dinas juga melakukan deteksi dini HIV terutama pada populasi kunci yang dilakukan sedini mungkin agar tidak terlambat dan membantu pencegahan, perawatan, dan pengobatan HIV bagi yang pasien yang terduga terinfeksi.
Menurutnya, pemeriksaan ini penting agar cepat mendapatkan informasi mengenai HIV, sehingga pasien pun dapat segera melakukan deteksi dini dan mendapat pengobatan yang dibutuhkan.
Ia menjelaskan ODHA yang ditemukan dari hasil skrining puskesmas akan mendapatkan penanganan di Layanan Pengobatan dan Perawatan (LPDP) ODHA RSUD Komodo Labuan Bajo.
Saat ini, jumlah ODHA yang tengah menjalani pengobatan antiretroviral (ARV) sebanyak 76 orang. Namun, empat orang berstatus lost of follow up, sembilan orang dirujuk ke luar, dan tujuh orang berstatus lost contact.
"Kalau lost of follow up artinya pasien sudah dapat terapi ARV tapi dalam jangka waktu lebih dari tiga bulan tidak kontrol. Kalau lost contact itu orang yang hasil tesnya positif ODHA, tapi tidak bisa dihubungi lagi untuk proses pengobatan lanjutan," katanya.
Menurut Fransiskus, kendala yang dialami para petugas adalah pasien dengan dua status tersebut. Padahal pengobatan ODHA adalah pengobatan yang dilakukan seumur hidup karena obat yang dikonsumsi pasien tidak untuk menyembuhkan HIV/AIDS tapi untuk menekan pertumbuhan virus.
"Kendala utamanya pasien pergi dan hilang kontak itu, padahal obat tersedia," ucapnya.
Baca juga: Kemenkes sebut ada 12.533 anak usia di bawah 14 tahun terinfeksi HIV
Untuk mengatasi kendala tersebut, dinas berkolaborasi dengan Komunitas ODHA dan Komisi HIV/AIDS dalam mengubah pola pikir pasien HIV/AIDS agar mau menjalani pengobatan ARV.
Baca juga: Legislator minta Pemprov NTT aktifkan layanan terpadu tangani HIV/AIDS
"Semoga pasien mau menjalani pengobatan ARV, karena menunda pengobatan hanya akan membuat virus terus merusak sistem kekebalan tubuh," katanya.
"Kami telah melakukan berbagai sosialisasi dan penyuluhan yang berkelanjutan tentang HIV/AIDS masyarakat termasuk untuk menghilangkan stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHA," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat Fransiskus Dulla Kurniawan Gibbons di Labuan Bajo, Jumat, (2/12/2022).
Dinas Kesehatan Manggarai Barat mencatat 30 orang positif terinfeksi HIV yang menyebabkan terjadinya penyakit yang merusak sistem kekebalan tubuh atau AIDS selama bulan Januari-November 2022.
Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi selama empat tahun terakhir, yang mana jumlah ODHA di Manggarai Barat tahun 2019 sebanyak 25 orang, naik menjadi 27 orang pada tahun 2020, namun sempat menurun pada tahun 2021 sebanyak 19 orang.
Fransiskus menyebut penyebab utama dari masih adanya kasus HIV/AIDS di Manggarai Barat adalah aktivitas hubungan seksual secara bebas. Oleh karena itu, dinas pun melakukan sosialisasi dan penyuluhan yang berkelanjutan khususnya bagi para pelajar sekolah.
Selanjutnya dinas juga melakukan deteksi dini HIV terutama pada populasi kunci yang dilakukan sedini mungkin agar tidak terlambat dan membantu pencegahan, perawatan, dan pengobatan HIV bagi yang pasien yang terduga terinfeksi.
Menurutnya, pemeriksaan ini penting agar cepat mendapatkan informasi mengenai HIV, sehingga pasien pun dapat segera melakukan deteksi dini dan mendapat pengobatan yang dibutuhkan.
Ia menjelaskan ODHA yang ditemukan dari hasil skrining puskesmas akan mendapatkan penanganan di Layanan Pengobatan dan Perawatan (LPDP) ODHA RSUD Komodo Labuan Bajo.
Saat ini, jumlah ODHA yang tengah menjalani pengobatan antiretroviral (ARV) sebanyak 76 orang. Namun, empat orang berstatus lost of follow up, sembilan orang dirujuk ke luar, dan tujuh orang berstatus lost contact.
"Kalau lost of follow up artinya pasien sudah dapat terapi ARV tapi dalam jangka waktu lebih dari tiga bulan tidak kontrol. Kalau lost contact itu orang yang hasil tesnya positif ODHA, tapi tidak bisa dihubungi lagi untuk proses pengobatan lanjutan," katanya.
Menurut Fransiskus, kendala yang dialami para petugas adalah pasien dengan dua status tersebut. Padahal pengobatan ODHA adalah pengobatan yang dilakukan seumur hidup karena obat yang dikonsumsi pasien tidak untuk menyembuhkan HIV/AIDS tapi untuk menekan pertumbuhan virus.
"Kendala utamanya pasien pergi dan hilang kontak itu, padahal obat tersedia," ucapnya.
Baca juga: Kemenkes sebut ada 12.533 anak usia di bawah 14 tahun terinfeksi HIV
Untuk mengatasi kendala tersebut, dinas berkolaborasi dengan Komunitas ODHA dan Komisi HIV/AIDS dalam mengubah pola pikir pasien HIV/AIDS agar mau menjalani pengobatan ARV.
Baca juga: Legislator minta Pemprov NTT aktifkan layanan terpadu tangani HIV/AIDS
"Semoga pasien mau menjalani pengobatan ARV, karena menunda pengobatan hanya akan membuat virus terus merusak sistem kekebalan tubuh," katanya.