Kupang (ANTARA) - Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Nusa Tenggara Timur (NTT) Sinun Petrus Manuk mengemukakan perusahaan dari Papua Nugini meminta pasokan tepung kelor sebanyak 100 ton per bulan yang diproduksi melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMdes) di Desa Kufeu, Kabupaten Malaka.
"Permintaan pasokan kelor dari Papua Nugini ini sudah disampaikan langsung ke jaringan mereka di Kufeu dan kami sudah berkoordinasi untuk itu, jumlahnya sekitar 100 ton per bulan," katanya kepada ANTARA di Kupang, NTT, Senin (29/7).
Ia mengatakan pengolahan tanaman kelor yang dilakukan BUMDes di Desa Kufeu dengan menghasilkan produk utama berupa tepung kelor memiliki pasar yang semakin terbuka dengan adanya permintaan ekspor dari beberapa negara.
Selain Papua Nugini, kata dia, permintaan ekspor juga datang dari Jepang yang menginginkan pasokan mencapai 40 ton per minggu dan juga dari daerah lain di dalam negeri.
Namun, lanjut Sinun Petrus, produksi tepung kelor dari BUMDes relatif masih kecil dengan fasilitas yang terbatas. BUMDes tersebut hanya berupa satu rumah pengering dan satu unit mesin produksi dengan kapasitas produksi 10 kilogram per jam.
"Karena itu belum lama ini ditambah lagi satu mesin dengan kapasitas yang sama. Selain itu Pak Gubernur (Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat) juga sudah menjanjikan akan membantu 10 unit mesin dengan kapasitas yang lebih besar," katanya.
Baca juga: Artikel - Mungkinkah daun kelor bisa mengatasi kekerdilan? Ini penjelasannya
Selain itu, kata Sinun Petrus, saat ini rumah pengering juga sedang dibangun pada beberapa desa penyangga yang sudah dibentuk di Kecamatan Io Kufeu menggunakan alokasi dana desa sekitar Rp160 juta per unit.
Petrus Manuk mengatakan selain penguatan fasilitas produksi, pemerintah provinsi juga berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten untuk mendorong perluasan lahan budi daya tanaman kelor di Kecamatan Io Kufeu.
Saat ini, lanjutnya, tanaman kelor sudah dikembangkan pada lahan seluas 80 hektare dan akan bertambah lagi karena dikembangkan lagi pada sekitar lima desa di daerah itu masing-masing 20 hektare.
"Kondisi alam di sana memang sangat mendukung, cuacanya, kondisi tanahnya, sangat cocok untuk hasilkan kelor organik, sehingga ini kami lebih fokus lagi. Apalagi permintaan pasar sudah jelas," kata Sinun Petrus.
Baca juga: Setiap desa di Sumba Timur wajib menanam 7.500 anakan kelor
Baca juga: Jepang minta 40 ton kelor per minggu dari NTT
"Permintaan pasokan kelor dari Papua Nugini ini sudah disampaikan langsung ke jaringan mereka di Kufeu dan kami sudah berkoordinasi untuk itu, jumlahnya sekitar 100 ton per bulan," katanya kepada ANTARA di Kupang, NTT, Senin (29/7).
Ia mengatakan pengolahan tanaman kelor yang dilakukan BUMDes di Desa Kufeu dengan menghasilkan produk utama berupa tepung kelor memiliki pasar yang semakin terbuka dengan adanya permintaan ekspor dari beberapa negara.
Selain Papua Nugini, kata dia, permintaan ekspor juga datang dari Jepang yang menginginkan pasokan mencapai 40 ton per minggu dan juga dari daerah lain di dalam negeri.
Namun, lanjut Sinun Petrus, produksi tepung kelor dari BUMDes relatif masih kecil dengan fasilitas yang terbatas. BUMDes tersebut hanya berupa satu rumah pengering dan satu unit mesin produksi dengan kapasitas produksi 10 kilogram per jam.
"Karena itu belum lama ini ditambah lagi satu mesin dengan kapasitas yang sama. Selain itu Pak Gubernur (Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat) juga sudah menjanjikan akan membantu 10 unit mesin dengan kapasitas yang lebih besar," katanya.
Baca juga: Artikel - Mungkinkah daun kelor bisa mengatasi kekerdilan? Ini penjelasannya
Selain itu, kata Sinun Petrus, saat ini rumah pengering juga sedang dibangun pada beberapa desa penyangga yang sudah dibentuk di Kecamatan Io Kufeu menggunakan alokasi dana desa sekitar Rp160 juta per unit.
Petrus Manuk mengatakan selain penguatan fasilitas produksi, pemerintah provinsi juga berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten untuk mendorong perluasan lahan budi daya tanaman kelor di Kecamatan Io Kufeu.
Saat ini, lanjutnya, tanaman kelor sudah dikembangkan pada lahan seluas 80 hektare dan akan bertambah lagi karena dikembangkan lagi pada sekitar lima desa di daerah itu masing-masing 20 hektare.
"Kondisi alam di sana memang sangat mendukung, cuacanya, kondisi tanahnya, sangat cocok untuk hasilkan kelor organik, sehingga ini kami lebih fokus lagi. Apalagi permintaan pasar sudah jelas," kata Sinun Petrus.
Baca juga: Setiap desa di Sumba Timur wajib menanam 7.500 anakan kelor
Baca juga: Jepang minta 40 ton kelor per minggu dari NTT