Opini - Besarnya nilai ekonomi dan kesehatan pada daun kelor

id Kelor,stunting,daun kelor,gizi buruk,Artikel kelor Oleh Drg. Chinthia Elvitasari, MPH.*)

Opini - Besarnya nilai ekonomi dan kesehatan pada daun kelor

Pekerja memasukkan kerupuk berbahan baku daun kelor ke dalam kemasan di rumah produksi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kelompok usaha Mekar Sari bangkit di Desa Batu Putih, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, NTB, Sabtu (22/7/2023). .ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/hp (ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)

Sebelum konsumsi kelor, perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter atau ahli gizi untuk mengetahui dosis dan cara penggunaan yang tepat..
Jakarta (ANTARA) - Ungkapan dunia tak selebar daun kelor tak selamanya mencerminkan bahwa manfaat tumbuhan bernama latin moringa itu sempit. Nyatanya nilai ekonomi dan kesehatan kelor begitu luas dan besar.

Persoalan stunting misalnya, ternyata dapat teratasi salah satunya dengan memperbesar konsumsi kelor pada penderita.

Apalagi hingga kini, stunting dan gizi buruk masih menjadi problem bagi bangsa Indonesia terutama bagi keluarga miskin.

Pemerintah memang telah menargetkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024. Pada tahun 2019 stunting mencapai 27,6 persen (Riset Kesehatan Dasar 2019) dan pada 2023 mencapai 21,6 persen dari jumlah balita.

Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan tubuh dan otak anak akibat kekurangan gizi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk keluar dari persoalan stunting, tetapi belum dapat menemukan solusi sumber gizi yang murah dan dapat dijangkau oleh keluarga miskin.

Susu, daging, maupun multivitamin masih menjadi barang mahal sehingga tidak terjangkau masyarakat secara mandiri. Pemerintah harus terus membantu masyarakat sehingga sumberdaya lokal yang murah harus dicari.

Banyak yang belum menyadari bahwa pemanfaatan sumber daya lokal dapat menjadi salah satu pendekatan yang murah. Daun kelor dapat membantu mengatasi stunting pada anak karena kandungan nutrisinya yang tinggi.

Daun kelor kaya vitamin dan mineral, seperti potasium, vitamin C, kalsium, vitamin A, dan zat besi. Di sisi lain kelor dapat tumbuh di lahan-lahan pekarangan dengan subur sehingga menjadi sumber nutrisi gratis dari alam.

Kelor dapat menjadi salah satu alternatif sumber nutrisi yang murah dan mudah didapat untuk membantu mengatasi stunting meskipun tetap harus diimbangi dengan asupan gizi dari sumber lainnya.

Di masa lalu kelor biasa hanya tanaman penghias pekarangan rumah yang jarang dimanfaatkan. Biasanya masyarakat menanam kelor bukan karena sadar akan manfaatnya, melainkan sebagai tanaman peneduh maupun sebagai tanaman mistis penolak bala.

Padahal, kelor memiliki segudang manfaat mulai dari menurunkan gula darah, memelihara kesehatan, hingga meningkatkan kekebalan tubuh. Vitamin C yang terkandung dalam daun kelor dapat membantu melawan bakteri dan virus penyebab penyakit.

Saat ini kelor Moringa oleifera merupakan spesies yang paling banyak diteliti sehingga banyak dikultivasi di seluruh dunia. Kelor di segala penjuru dunia memiliki beragam sebutan seperti benzolive, drumstick tree, horseradish, mulangay, marango, sajna, kelor, saijihan, dan mlonge.

Dari hasil riset dan penelusuran sejarah seluruh bagian tanaman kelor, dari biji, polong, daun dan akar, dapat dikonsumsi serta banyak digunakan di bidang agrikultur, industri, dan medis.

Di Indonesia kelor telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. WHO bahkan telah menobatkan kelor sebagai "miracle tree" atau pohon ajaib karena manfaatnya yang berharga dan murah bagi kesehatan.

Manfaat kelor yang paling utama dan dikenal adalah manfaat pangan karena kandungan nutrisi dan gizinya yang tinggi, berguna bagi kesehatan tubuh manusia.

Kelor juga memiliki manfaat lingkungan dan ekonomi yang tidak kalah penting. Kelor dapat digunakan sebagai pupuk organik dan dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Kelor juga dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan bagi petani dan masyarakat di pedesaan.


Pengolahan kelor