Kupang (Antara NTT) - Deputi Bidang Klimatologi BMKG R Mulyono Rahardi Prabowo mengatakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) III yang diselenggarakan di Kupang, Nusa Tenggara Timur bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan di daerah itu.
"Kegiatan SLI ini diselenggarakan guna mengantisipasi perubahan cuaca ekstrem terhadap ketahanan pangan di wilayah ini, dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan bagi para petani di daerah ini," katanya kepada wartawan di Kupang, Jumat.
Ia mengatakan, cuaca ekstrem diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim negatif sehingga dampak sangat luas dari fenomena ini adalah kekeringan yang terjadi pada sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia.
Program ketahanan pangan nasional merupakan kegiatan yang akan terkena dampak langsung dari fenomena kekeringan.
"Masalah iklim juga `kan berpengaruh terhadap masalah ketahanan pangan kita, sehingga SLI ini dibuat dengan tujuan untuk memperkuat ketahanan pangan kita," ujarnya.
Prabowo mengatakan, secara nasional program ini sudah dimulai sejak 2011 dan sudah memberikan dampak positif bagi petani berupa penambahan produksi yang meningkat berkisar dari 20 hingga 30 persen.
Kini lanjutnya 33 provinsi yang mengikuti Sekolah Lapang Iklim telah merasakan manfaat manis dari kegiatan yang di fasilitasi oleh Badan Penyuluh Pertanian dan Prakirawan Iklim dari BMKG tersebut.
"Walaupun tidak terlalu signifikan meningkat namun setidaknya mengalami sendikit perubahan hasilnya. Dan hingga saat ini jumlah peserta SLI di seluruh Indonesia telah mencapai enam ribuan peserta," tuturnya.
Namun jumlah enam ribu peserta dari SLI I hingga III di seluruh Indonesia itu belum mencukupi. Para peserta SLI itu bisa menyosialisasikan apa yang telah diperolehnya selama menjadi peserta SLI di tempatnya masing-masing.
Ia menjelaskan, sekolah lapang iklim memberikan informasi yang memadai kepada petani terkait perubahan cuaca dan dampaknya terhadap pertanian.
Dia mengatakan, informasi yang diberikan dengan menggandeng penyuluh pertanian, berupa kalender tanam, parameter-parameter iklim dan jenis tanaman yang cocok ditanam pada iklim tertentu.
"Untuk mencapai tujuan serta sasaran kegiatan SLI ini dipandu instruktur dari Petugas Penyuluh Lapangan wilayah Kabupaten Kupang dan narasumber dari BMKG Stasiun Klimatologi Kupang," ujarnya.
Dilirik WMO
Dia mengatakan, keberhasilan BMLG sendiri dalam menginisiasi SLI tersebut saat ini justru dilirik oleh Badan Meteorologi Dunia World Meteorological Organization (WMO).
"Kita mendapatkan banyak tawaran dari negara-negara di dunia, khususnya yang daerahnya kering seperti Afrika dan beberapa negara lainnya," tuturnya.
Para pesertanya justru datang ke Indonesia untuk belajar mengenai Sekolah Lapang Iklim tersebut.
Pada 2015 BMKG justru mendapatkan kepercayaan menyelenggarakan Training of Trainer Course on Climate Field School untuk negara-negara Asia Pasifik yang bertempat di pusat pelatihan regional di Citeko, Bogor.
"Kegiatan SLI ini diselenggarakan guna mengantisipasi perubahan cuaca ekstrem terhadap ketahanan pangan di wilayah ini, dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan bagi para petani di daerah ini," katanya kepada wartawan di Kupang, Jumat.
Ia mengatakan, cuaca ekstrem diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim negatif sehingga dampak sangat luas dari fenomena ini adalah kekeringan yang terjadi pada sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia.
Program ketahanan pangan nasional merupakan kegiatan yang akan terkena dampak langsung dari fenomena kekeringan.
"Masalah iklim juga `kan berpengaruh terhadap masalah ketahanan pangan kita, sehingga SLI ini dibuat dengan tujuan untuk memperkuat ketahanan pangan kita," ujarnya.
Prabowo mengatakan, secara nasional program ini sudah dimulai sejak 2011 dan sudah memberikan dampak positif bagi petani berupa penambahan produksi yang meningkat berkisar dari 20 hingga 30 persen.
Kini lanjutnya 33 provinsi yang mengikuti Sekolah Lapang Iklim telah merasakan manfaat manis dari kegiatan yang di fasilitasi oleh Badan Penyuluh Pertanian dan Prakirawan Iklim dari BMKG tersebut.
"Walaupun tidak terlalu signifikan meningkat namun setidaknya mengalami sendikit perubahan hasilnya. Dan hingga saat ini jumlah peserta SLI di seluruh Indonesia telah mencapai enam ribuan peserta," tuturnya.
Namun jumlah enam ribu peserta dari SLI I hingga III di seluruh Indonesia itu belum mencukupi. Para peserta SLI itu bisa menyosialisasikan apa yang telah diperolehnya selama menjadi peserta SLI di tempatnya masing-masing.
Ia menjelaskan, sekolah lapang iklim memberikan informasi yang memadai kepada petani terkait perubahan cuaca dan dampaknya terhadap pertanian.
Dia mengatakan, informasi yang diberikan dengan menggandeng penyuluh pertanian, berupa kalender tanam, parameter-parameter iklim dan jenis tanaman yang cocok ditanam pada iklim tertentu.
"Untuk mencapai tujuan serta sasaran kegiatan SLI ini dipandu instruktur dari Petugas Penyuluh Lapangan wilayah Kabupaten Kupang dan narasumber dari BMKG Stasiun Klimatologi Kupang," ujarnya.
Dilirik WMO
Dia mengatakan, keberhasilan BMLG sendiri dalam menginisiasi SLI tersebut saat ini justru dilirik oleh Badan Meteorologi Dunia World Meteorological Organization (WMO).
"Kita mendapatkan banyak tawaran dari negara-negara di dunia, khususnya yang daerahnya kering seperti Afrika dan beberapa negara lainnya," tuturnya.
Para pesertanya justru datang ke Indonesia untuk belajar mengenai Sekolah Lapang Iklim tersebut.
Pada 2015 BMKG justru mendapatkan kepercayaan menyelenggarakan Training of Trainer Course on Climate Field School untuk negara-negara Asia Pasifik yang bertempat di pusat pelatihan regional di Citeko, Bogor.