Kupang (AntaraNews NTT) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni meminta Indonesia untuk tidak terlalu memanjakan Australia terkait penetapan batas wilayah perairan kedua negara di Laut Timor dan Arafura secara permanen dengan menggunakan median line sebagai penentunya.
"Dengan demikian maka seluruh Perjanjian RI-Australia yang pernah dibuat antara tahun 1971-1997 wajib dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Senin.
Pengemban mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor ini mengemukakan pandangannya tersebut menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Australia Julie Isabel Bishop dan Direktur Jenderal Perjanjian Hukum Internasional Damos Agusman yang dikutip media Australia.
Menurut Julie Bishop di harian The Sydney Morning Herald terbitan 15 Maret menyatakan bahwa Australia tidak bersedia untuk merundingkan kembali seluruh batas perairannya yang telah dibuat dengan Indonesia.
Sementara dalam harian The Australian, Senin (19/3), Julie Bishop dan Damos Agusman menyatakan bahwa Australia dan Indonesia hanya menyepakati untuk melihat kembali hal-hal teknis saja dalam perjanjian RI-Australia yang dibuat tahun 1997 di Perth yang belum diratifikasi tersebut.
Dalam hubungan dengan itu, mantan agen imigrasi Australia ini meminta Indonesia untuk tidak memanjakan Australia secara terus-menerus, karena hanya akan memarjinalkan bangsa dan rakyat Indonesia ini sepanjang masa.
. Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Australia Julia Bishop (tengah) didampingi Menlu Retno Marsudi. (ANTARA Foto/ist)
"Jika batas perairan Australia dan Selandia Baru serta Australia dan Timor Leste menggunakan prinsip median line, kenapa hal itu tidak berlaku dalam penetapan batas perairan antara Australia dan Indonesia di Laut Timor," katanya dalam nada tanya.
Tanoni kembali menegaskan seluruh perjanjian dan MoU batas perairan RI-Australia tanpa pengecualian termasuk perjanjian kerja sama perikanan di Laut Timor dan Laut Arafura haruslah dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste.
Hal ini haruslah dilakukan sebagai sebuah konsekwensi terjadinya perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya sebuah negara baru bernama Timor Leste.
"Kami rakyat Indonesia di Timor Barat mengetahui persis sebagaimana juga yang diketahui Kementerian Luar Negeri Australia bahwa dalam pembuatan perjanjian RI-Australia tahun 1972 tersebut Indonesia telah diperdaya Australia".
"Australia secara licik menyatakan bahwa ujung batas utara landas kontinen Australia terletak di Celah Timor, dengan demikian Australia menguasai hampir seluruh kekayaan yang berada di Laut Timor," katanya.
Padahal, tegas Tanoni, sesungguhnya berdasarkan fakta geologi dan geomorfologi Benua Australia dan Pulau Timor berada di dalam satu landas kontinen, yakni landas kontinen Australia sehingga yang harus digunakan adalah median line dalam penentuan batas laut kedua negara.
Selain itu, tambahnya, Perjanjian RI-Australia 1997 itu dibuat atas inisiatif Australia guna menguasai kawasan Selatan Indonesia termasuk gugusan Pulau Pasir yang sangat kaya akan bahan mineral.
. Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull. (ANTARA Foto/ist)
Sebab, Australia menyadari penguasaan Gugusan Pulau Pasir dengan hanya bermodalkan MoU 1974 tentang hak-hak nelayan tradisional yang ditandatangani oleh dua pejabat tingkat rendah dari Kementerian Luar Negeri RI dan Kementerian Pertanian RI itu sangatlah lemah jika kemudian hari timbul permasalahan.
"Disinilah letak persoalannya, gara-gara perjanjian yang tidak jelas dan curang ini sudah ribuan perahu nelayan tradisional diberangus oleh Australia, belum lagi kekayaan mineral yang telah dikuras Australia lebih 20 tahun ini untuk kepentingan nasionalnya," katanya.
Atas dasar itu, ia mendesak agar Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam melakukan berbagai perundingan/pembicaraan dengan Australia haruslah melibat Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota di NTT dan tokoh masyarakat termasuk tokoh masyrakat adat yang ada di daerah ini.
"Dengan demikian maka seluruh Perjanjian RI-Australia yang pernah dibuat antara tahun 1971-1997 wajib dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Senin.
Pengemban mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor ini mengemukakan pandangannya tersebut menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Australia Julie Isabel Bishop dan Direktur Jenderal Perjanjian Hukum Internasional Damos Agusman yang dikutip media Australia.
Menurut Julie Bishop di harian The Sydney Morning Herald terbitan 15 Maret menyatakan bahwa Australia tidak bersedia untuk merundingkan kembali seluruh batas perairannya yang telah dibuat dengan Indonesia.
Sementara dalam harian The Australian, Senin (19/3), Julie Bishop dan Damos Agusman menyatakan bahwa Australia dan Indonesia hanya menyepakati untuk melihat kembali hal-hal teknis saja dalam perjanjian RI-Australia yang dibuat tahun 1997 di Perth yang belum diratifikasi tersebut.
Dalam hubungan dengan itu, mantan agen imigrasi Australia ini meminta Indonesia untuk tidak memanjakan Australia secara terus-menerus, karena hanya akan memarjinalkan bangsa dan rakyat Indonesia ini sepanjang masa.
"Jika batas perairan Australia dan Selandia Baru serta Australia dan Timor Leste menggunakan prinsip median line, kenapa hal itu tidak berlaku dalam penetapan batas perairan antara Australia dan Indonesia di Laut Timor," katanya dalam nada tanya.
Tanoni kembali menegaskan seluruh perjanjian dan MoU batas perairan RI-Australia tanpa pengecualian termasuk perjanjian kerja sama perikanan di Laut Timor dan Laut Arafura haruslah dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste.
Hal ini haruslah dilakukan sebagai sebuah konsekwensi terjadinya perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya sebuah negara baru bernama Timor Leste.
"Kami rakyat Indonesia di Timor Barat mengetahui persis sebagaimana juga yang diketahui Kementerian Luar Negeri Australia bahwa dalam pembuatan perjanjian RI-Australia tahun 1972 tersebut Indonesia telah diperdaya Australia".
"Australia secara licik menyatakan bahwa ujung batas utara landas kontinen Australia terletak di Celah Timor, dengan demikian Australia menguasai hampir seluruh kekayaan yang berada di Laut Timor," katanya.
Padahal, tegas Tanoni, sesungguhnya berdasarkan fakta geologi dan geomorfologi Benua Australia dan Pulau Timor berada di dalam satu landas kontinen, yakni landas kontinen Australia sehingga yang harus digunakan adalah median line dalam penentuan batas laut kedua negara.
Selain itu, tambahnya, Perjanjian RI-Australia 1997 itu dibuat atas inisiatif Australia guna menguasai kawasan Selatan Indonesia termasuk gugusan Pulau Pasir yang sangat kaya akan bahan mineral.
Sebab, Australia menyadari penguasaan Gugusan Pulau Pasir dengan hanya bermodalkan MoU 1974 tentang hak-hak nelayan tradisional yang ditandatangani oleh dua pejabat tingkat rendah dari Kementerian Luar Negeri RI dan Kementerian Pertanian RI itu sangatlah lemah jika kemudian hari timbul permasalahan.
"Disinilah letak persoalannya, gara-gara perjanjian yang tidak jelas dan curang ini sudah ribuan perahu nelayan tradisional diberangus oleh Australia, belum lagi kekayaan mineral yang telah dikuras Australia lebih 20 tahun ini untuk kepentingan nasionalnya," katanya.
Atas dasar itu, ia mendesak agar Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam melakukan berbagai perundingan/pembicaraan dengan Australia haruslah melibat Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota di NTT dan tokoh masyarakat termasuk tokoh masyrakat adat yang ada di daerah ini.