Kupang (AntaraNews NTT) - Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD PhD menilai belum ada calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 yang mampu mengidentifikasikan persoalan di provinsi setempat dalam debat terbuka.
"Pada debat terbuka kedua di Jakarta beberapa waktu lalu terlihat belum ada pasangan calon yang tegas mengidentifikasi persoalan yang ada di NTT saat ini," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (11/5), terkait debat terbuka tersebut.
Neonbasu mengatakan, para pasangan calon (paslon) tampaknya hanya mereka-reka dan terus berpijak pada visi dan misi mereka, yang menurutnya belum secara mendalam mengungkap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat NTT.
"Ada sikap was-was berlebihan setiap pasangan calon dalam debat itu," kata Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.
Ia mengatakan, para paslon sudah memaparkan visi dan misi mereka, namun belum menyentuh hal-hal aktual yang dihadapi masyarakat NTT saat ini.
Visi dan misi yang disampaikan pun, lanjutnya, hanya sebatas sebuah "orasi tak bertuan" karena jawaban terhadap pertanyaan panelis tampak sangat kaku.
Misalnya, ketika menyebut perdagangan manusia (human trafficking), tidak saja soal martabat manusia atau jual beli manusia, melainkan dapat dikaitkan dengan faktor kemiskinan.
Baca juga: Pilkada 2018 - Debat cagub NTT mirip orang baca injil
Para paslon Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 saat debat terbuka di iNews TV Jakarta, Selasa (8/5). (ANTARA Foto/tim sukses)
Selain itu, berkaitan dengan lemahnya pendidikan formal dan non-formal yakni pendampingan keluarga, longgarnya kehidupan moral, serta etik masyarakat, dan lainnya.
"Para paslon hampir tidak perduli dengan jawaban analitis terhadap pertanyaan panelis. Masing-masing memberi jawaban hanya bertolak dari visi dan misi sehingga kaku dan tidak produktif," katanya.
Menurut Neonbasu, jawaban para paslon tidak skematis atau tidak mengikuti skema yang pas sehingga ketika menjawab terutama terhadap sesama pasangan calon tidak mengena pada sasaran situasi dan kondisi NTT.
Untuk itu, lanjutnya, setiap paslon seyogyanya perlu memiliki sketsa pemahaman yang utuh mengenai suasana dan kondisi NTT, kemarin, hari ini, dan terlebih yang akan datang.
Misalnya, pengetahuan mengenai NTT tidak saja sebatas masyarakatnya yang miskin, melainkan masih banyak sisi kehidupan lain yang dikategorikan sangat kaya.
"Sayangnya itu tidak disebut oleh satu paslon pun, mereka juga tidak memberikan solusi-solusi kongkrit terhadap persoalan yang disampaikan," katanya.
"Pada debat terbuka kedua di Jakarta beberapa waktu lalu terlihat belum ada pasangan calon yang tegas mengidentifikasi persoalan yang ada di NTT saat ini," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (11/5), terkait debat terbuka tersebut.
Neonbasu mengatakan, para pasangan calon (paslon) tampaknya hanya mereka-reka dan terus berpijak pada visi dan misi mereka, yang menurutnya belum secara mendalam mengungkap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat NTT.
"Ada sikap was-was berlebihan setiap pasangan calon dalam debat itu," kata Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur itu.
Ia mengatakan, para paslon sudah memaparkan visi dan misi mereka, namun belum menyentuh hal-hal aktual yang dihadapi masyarakat NTT saat ini.
Visi dan misi yang disampaikan pun, lanjutnya, hanya sebatas sebuah "orasi tak bertuan" karena jawaban terhadap pertanyaan panelis tampak sangat kaku.
Misalnya, ketika menyebut perdagangan manusia (human trafficking), tidak saja soal martabat manusia atau jual beli manusia, melainkan dapat dikaitkan dengan faktor kemiskinan.
Baca juga: Pilkada 2018 - Debat cagub NTT mirip orang baca injil
Selain itu, berkaitan dengan lemahnya pendidikan formal dan non-formal yakni pendampingan keluarga, longgarnya kehidupan moral, serta etik masyarakat, dan lainnya.
"Para paslon hampir tidak perduli dengan jawaban analitis terhadap pertanyaan panelis. Masing-masing memberi jawaban hanya bertolak dari visi dan misi sehingga kaku dan tidak produktif," katanya.
Menurut Neonbasu, jawaban para paslon tidak skematis atau tidak mengikuti skema yang pas sehingga ketika menjawab terutama terhadap sesama pasangan calon tidak mengena pada sasaran situasi dan kondisi NTT.
Untuk itu, lanjutnya, setiap paslon seyogyanya perlu memiliki sketsa pemahaman yang utuh mengenai suasana dan kondisi NTT, kemarin, hari ini, dan terlebih yang akan datang.
Misalnya, pengetahuan mengenai NTT tidak saja sebatas masyarakatnya yang miskin, melainkan masih banyak sisi kehidupan lain yang dikategorikan sangat kaya.
"Sayangnya itu tidak disebut oleh satu paslon pun, mereka juga tidak memberikan solusi-solusi kongkrit terhadap persoalan yang disampaikan," katanya.