Tiga faktor penyebab orang memilih golput

id Gregor

Tiga faktor penyebab orang memilih golput

Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD (ANTARA Foto/dok)

"Selama uang menguasai khazanah dunia politik, maka kualitas politik juga sama seperti berdagang, kata antropolog budaya Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD.
Kupang (ANTARA News NTT) - Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Nusa Tenggara Timur Pater Gregor Neonbasu SVD PhD menilai ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab sebagian orang lebih memilih menjadi golput.

"Faktor pertama adalah kurang berkualitas kampanye yang disampaikan oleh para calon legislator yang ikut dalam kontestan pemilu," kata rohaniawan Katolik itu kepada Antara di Kupang, Rabu (5/12).

Selain tidak berkualitas, kata dia, kampanye yang disampaikan pun kurang menarik dan tidak membangkitkan hasrat warga masyarakat untuk mengambil bagian dalam suatu pesta demokrasi.

Dia mengemukakan pandangan itu, menjawab pertanyaan seputar mengapa sebagian orang lebih suka memilih menjadi golput ketimbang menjadi peserta pemilu yang baik.

"Saya pernah menerima jawaban dari warga yang pernah mengatakan bahwa daripada bersusah-susah mengikuti Pemilu, lebih baik dan lebih aman menjadi golput saja," ucapnya.

"Analisa saya, alasan pertama adalah kualitas kampanye kurang menarik minat, dan tidak membangkitkan hasrat warga masyarakat untuk mengambil-bagian dalam pemilu," katanya menambahkan.

Baca juga: Kependudukan hal terpenting dalam pemilu 2019

Faktor kedua adalah, para kader yang dicalonkan oleh partai-partai politik mungkin melewati mekanisme partai politik, namun warga melihat justru dengan pertimbangan berbeda.

"Orang kampung yang ada di pelosok desa sudah pintar menilai, calon mana yang layak menjadi wakil mereka," katanya.

Faktor ketiga adalah praktek politik, dimana warga masyarakat juga sudah mahir membaca mengenai politik uang (money politic), yang sudah memborgol kreativitas para politisi.

Menurut dia, selama uang menguasai khazanah dunia politik, maka kualitas politik juga sama seperti berdagang.

Bedanya adalah para pedagang selalu melihat dan pandai menghitung untung dan rugi.

"Tetapi berdagang dalam dunia politik ibarat membangun jurang untuk masa depan," kata Pater Gregorius yang juga Anggota Institut Antropos Jerman itu.

Baca juga: Kapolda: dua pertiga pasukan amankan pemilu 2019