Kupang (AntaraNews NTT) - Populasi ternak babi yang tersebar di 22 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga akhir 2017 tercatat sebanyak 2.073.446 ekor.
"Populasi tersebut mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan jika dibanding dengan posisi 2016 yang hanya mencapai 1.845.408 ekor," kata Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT Dany Suhadi kepada wartawan di Kupang, Senin (27/8).
Ia mengatakan populasi ternak babi di NTT selama 11 tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, misalnya, populasi ternak babi hanya tercatat 1.385.961 ekor, namun meningkat menjadi 1.669.705 ekor pada tahun 2011.
Pada 2016, populasi ternak babi di NTT terus meningkat menjadi 1.845.408 ekor, dan pada 2017 terus bertambah menjadi 2.073.446 ekor. Dalam 11 tahun terakhir, kata dia, babi yang dipotong pun terus meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan rumah makan, maupun usaha se'i.
Dany Suhadi mengatakan pada tahun 2006, jumlah ternak babi yang dipotong sebanyak 597.696 ekor, meningkat menjadi 788.229 ekor pada tahun 2011, dan 792.295 ekor pada tahun 2016 dan 811.265 ekor pada tahun 2017.
Baca juga: NTT miliki dua sentra pembibitan ternak babi
Usaha peternakan babi di Nusa Tenggara Timur
Artinya, rata-rata setiap kabupaten/kota memotong 36.876 ekor babi setiap tahun atau 3.072 ekor setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan daging di daerah ini.
Ia mengatakan produksi daging babi pada tahun 2011 tercatat 26.605.080 kg, meningkat menjadi 32.682.170 kg pada tahun 2016 dan menjadi 33.464.681 kg pada tahun 2017.
"Jadi rata-rata produksi daging babi setiap bulan mencapai 2.788.723 kg," katanya dan menambahkan konsumsi daging babi di NTT terbanyak yakni 50 persen, disusul unggas 25 persen, daging sapi 18 persen, kambing dua persen, kerbau dua persen dan kuda serta domba masing-masing satu persen.
Menurut dia, faktor yang menjadi pendorong usaha ternak babi di provinsi berbasis kepulauan itu adalah dukungan faktor sosial budaya. "Bagi orang NTT, pesta tanpa daging babi ibarat sayur tanpa garam," ujar Dany.
Faktor lain adalah kebutuhan daging babi meningkat seiring dengan makin banyaknya rumah makan se`i babi, babi tore, roti babi, sate babi, bakso babi. "Setiap hari bisa 100 ekor babi di potong untuk memenuhi kebutuhan rumah makan," katanya.
Faktor pendorong lain adalah usaha ternak babi menguntungkan secara finansial. "Perputaran uang cash flow cepat karena bibit babi berusia dua bulan, bisa dipotong pada usia delapan bulan dan menjadi sumber pendapatan rumah tangga, kata Dany Suhadi.
Baca juga: Populasi ternak babi NTT tertinggi di Indonesia
Usaha peternakan babi di Nusa Tenggara Timur
"Populasi tersebut mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan jika dibanding dengan posisi 2016 yang hanya mencapai 1.845.408 ekor," kata Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT Dany Suhadi kepada wartawan di Kupang, Senin (27/8).
Ia mengatakan populasi ternak babi di NTT selama 11 tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, misalnya, populasi ternak babi hanya tercatat 1.385.961 ekor, namun meningkat menjadi 1.669.705 ekor pada tahun 2011.
Pada 2016, populasi ternak babi di NTT terus meningkat menjadi 1.845.408 ekor, dan pada 2017 terus bertambah menjadi 2.073.446 ekor. Dalam 11 tahun terakhir, kata dia, babi yang dipotong pun terus meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan rumah makan, maupun usaha se'i.
Dany Suhadi mengatakan pada tahun 2006, jumlah ternak babi yang dipotong sebanyak 597.696 ekor, meningkat menjadi 788.229 ekor pada tahun 2011, dan 792.295 ekor pada tahun 2016 dan 811.265 ekor pada tahun 2017.
Baca juga: NTT miliki dua sentra pembibitan ternak babi
Artinya, rata-rata setiap kabupaten/kota memotong 36.876 ekor babi setiap tahun atau 3.072 ekor setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan daging di daerah ini.
Ia mengatakan produksi daging babi pada tahun 2011 tercatat 26.605.080 kg, meningkat menjadi 32.682.170 kg pada tahun 2016 dan menjadi 33.464.681 kg pada tahun 2017.
"Jadi rata-rata produksi daging babi setiap bulan mencapai 2.788.723 kg," katanya dan menambahkan konsumsi daging babi di NTT terbanyak yakni 50 persen, disusul unggas 25 persen, daging sapi 18 persen, kambing dua persen, kerbau dua persen dan kuda serta domba masing-masing satu persen.
Menurut dia, faktor yang menjadi pendorong usaha ternak babi di provinsi berbasis kepulauan itu adalah dukungan faktor sosial budaya. "Bagi orang NTT, pesta tanpa daging babi ibarat sayur tanpa garam," ujar Dany.
Faktor lain adalah kebutuhan daging babi meningkat seiring dengan makin banyaknya rumah makan se`i babi, babi tore, roti babi, sate babi, bakso babi. "Setiap hari bisa 100 ekor babi di potong untuk memenuhi kebutuhan rumah makan," katanya.
Faktor pendorong lain adalah usaha ternak babi menguntungkan secara finansial. "Perputaran uang cash flow cepat karena bibit babi berusia dua bulan, bisa dipotong pada usia delapan bulan dan menjadi sumber pendapatan rumah tangga, kata Dany Suhadi.
Baca juga: Populasi ternak babi NTT tertinggi di Indonesia