Kupang (AntaraNews NTT) - Antropolog Budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD mengatakan para TKI dari Nusa Tenggara Timur hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan di Malaysia, tanpa memikirkan risiko dari pekerjaan tersebut.
"Asumsi saya adalah ketika mereka (TKI) pergi ke luar negeri, misalnya ke Malaysia, mereka belum ada pertimbangan mengenai layak tidaknya pekerjaan yang didapat, tetapi yang ada di otak mereka adalah bagaimana bisa mendapat pekerjaan dan penghasilan," katanya kepada Antara di Kupang, Kamis (20/9).
Pandangan yang dikemukakan rohaniawan Katolik itu terkait dengan penangkapan sejumlah calon TKI di Bandara El Tari Kupang oleh Satgas Pengamanan TKI, dan dikembalikan ke kampung halaman serta lainnya diproses hukum oleh Polda NTT, karena tidak prosedural.
Menurut Pater Gregorius, ada adagium kultural di antara kaum wanita di desa-desa bahwa daripada menetap di kampung menjadi pengangguran, sebaiknya berangkat ke luar negeri menjadi TKW atau TKI.
"Mereka ke luar negeri tanpa ada persiapan, yang penting menjadi TKI dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Bahwa penghasilan yang didapat itu cukup atau tidak, bukan jadi masalah bagi mereka," katanya.
Baca juga: Satgas kembali gagalkan tiga calon TKI
Baca juga: 343 calon TKI dari NTT dicegah keberangkatannya
"Dalam pikiran mereka hanya ingin mendapatkan pekerjaan agar tidak duduk diam di rumah. Artinya bahwa ini karena masalah ekonomi," katanya lagi.
Menurut dia, para calon TKI justru pragmatis saja, sehingga berbagai pelanggaran, antara lain hukum (HAM) dan hidup bermartabat memang berada di luar dugaan para pekerja itu.
Dalam beberapa kasus saat diamankan oleh petugas, para calon TKI yang kebanyakan adalah kaum wanita sama sekali tidak mengetahui pekerjaan apa yang akan diperoleh saat hendak dikirimkan ke luar negeri.
"Bahkan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa harian masyarakat Indonesia saja sulit untuk diucapkan oleh para calon pekerja itu," ujarnya.
"Asumsi saya adalah ketika mereka (TKI) pergi ke luar negeri, misalnya ke Malaysia, mereka belum ada pertimbangan mengenai layak tidaknya pekerjaan yang didapat, tetapi yang ada di otak mereka adalah bagaimana bisa mendapat pekerjaan dan penghasilan," katanya kepada Antara di Kupang, Kamis (20/9).
Pandangan yang dikemukakan rohaniawan Katolik itu terkait dengan penangkapan sejumlah calon TKI di Bandara El Tari Kupang oleh Satgas Pengamanan TKI, dan dikembalikan ke kampung halaman serta lainnya diproses hukum oleh Polda NTT, karena tidak prosedural.
Menurut Pater Gregorius, ada adagium kultural di antara kaum wanita di desa-desa bahwa daripada menetap di kampung menjadi pengangguran, sebaiknya berangkat ke luar negeri menjadi TKW atau TKI.
"Mereka ke luar negeri tanpa ada persiapan, yang penting menjadi TKI dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Bahwa penghasilan yang didapat itu cukup atau tidak, bukan jadi masalah bagi mereka," katanya.
Baca juga: Satgas kembali gagalkan tiga calon TKI
Baca juga: 343 calon TKI dari NTT dicegah keberangkatannya
"Dalam pikiran mereka hanya ingin mendapatkan pekerjaan agar tidak duduk diam di rumah. Artinya bahwa ini karena masalah ekonomi," katanya lagi.
Menurut dia, para calon TKI justru pragmatis saja, sehingga berbagai pelanggaran, antara lain hukum (HAM) dan hidup bermartabat memang berada di luar dugaan para pekerja itu.
Dalam beberapa kasus saat diamankan oleh petugas, para calon TKI yang kebanyakan adalah kaum wanita sama sekali tidak mengetahui pekerjaan apa yang akan diperoleh saat hendak dikirimkan ke luar negeri.
"Bahkan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa harian masyarakat Indonesia saja sulit untuk diucapkan oleh para calon pekerja itu," ujarnya.