Kupang (AntaraNews NTT) - Dinas Pertanian Nusa Tenggara Timur menyiapkan sebanyak 30.000 anakan pohon kelor untuk dikembangkan sebagai sumber devisa baru di daerah kepulauan ini melalui gerakan Revolusi Hijau.
"Sementara ini kami sudah siapkan pembibitan 30.000 anakan pohon kelor untuk mendukung Revolusi Hijau," kata Kepala Dinas Pertanian Nusa Tenggara Timur Yohanis Tay Ruba ketika dihubungi Antara di Kupang, Jumat (5/10).
Ia mengatakan hal itu berkaitan dengan kesiapan instansinya dalam merealisasikan program Revolusi Hijau yang dicanangkan Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat dan wakilnya Josef Nae Soi.
Gubernur Laiskodat sebelumnya berjanji dalam masa kepemimpinan akan mengembangkan tanaman kelor menjadi sumber pendapatan atau devisa baru bagi NTT.
"Marungga (kelor) akan dikembangkan menjadi sumber devisa baru bagi Nusa Tenggara Timur," kata Viktor Bungtilu Lasikodat di Kupang.
Menurut dia, kelor menjadi pohon masa depan yang diandalkan untuk mengatasi kekurangan gizi buruk dan stunting atau kekerdilan yang sering mengancam pertumbuhan anak-anak NTT.
Baca juga: Gubernur janji kembangkan kelor menjadi sumber devisa
Yohanis mengatakan, sebagai instansi teknis pihaknya siap menindaklanjuti program tersebut dengan mulai menyiapkan anakan pohon kelor untuk dikembangkan secara masif.
Rencananya, lanjut dia, anakan kelor itu akan ditanam pada awal musim hujan sekitar November 2018 mendatang yang diawali dengan peluncuran gerakan Revolusi Hijau di Kabupaten Kupang.
Untuk itu, pihaknya telah menyiapkan demplot pada tiga lokasi di antaranya Oefafi, Pitani, dan Oeteta dengan total lahan yang akan dimanfaatkan sekitar 8 hektare.
Dijelaskannya, pengembangan tanaman kelor akan dilakukan dengan pola inti yang dilakukan secara intensif dengan tanaman monokultur.
"Misalnya dalam satu kawasan dengan luasan misalnya 1 hektar dapat ditanami sekitar 1.000 pohon dengan jarak tanam 1 meter," katanya mencontohkan.
Selain itu, pola lainnya dilakukan dengan pengembangan secara massal berupa tanaman lorong yang dilakukan masyarakat.
"Hasil dari pola tanaman lorong oleh masyarakat ini nantinya bisa untuk kebutuhan konsumsi sayuran dalam rumah tangga mereka sendiri maupun untuk dijual," katanya.
Baca juga: NTT kembangkan kelor di sepuluh kabupaten
Usaha tanaman kelor (ANTARA Foto/ist)
"Sementara ini kami sudah siapkan pembibitan 30.000 anakan pohon kelor untuk mendukung Revolusi Hijau," kata Kepala Dinas Pertanian Nusa Tenggara Timur Yohanis Tay Ruba ketika dihubungi Antara di Kupang, Jumat (5/10).
Ia mengatakan hal itu berkaitan dengan kesiapan instansinya dalam merealisasikan program Revolusi Hijau yang dicanangkan Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat dan wakilnya Josef Nae Soi.
Gubernur Laiskodat sebelumnya berjanji dalam masa kepemimpinan akan mengembangkan tanaman kelor menjadi sumber pendapatan atau devisa baru bagi NTT.
"Marungga (kelor) akan dikembangkan menjadi sumber devisa baru bagi Nusa Tenggara Timur," kata Viktor Bungtilu Lasikodat di Kupang.
Menurut dia, kelor menjadi pohon masa depan yang diandalkan untuk mengatasi kekurangan gizi buruk dan stunting atau kekerdilan yang sering mengancam pertumbuhan anak-anak NTT.
Baca juga: Gubernur janji kembangkan kelor menjadi sumber devisa
Yohanis mengatakan, sebagai instansi teknis pihaknya siap menindaklanjuti program tersebut dengan mulai menyiapkan anakan pohon kelor untuk dikembangkan secara masif.
Rencananya, lanjut dia, anakan kelor itu akan ditanam pada awal musim hujan sekitar November 2018 mendatang yang diawali dengan peluncuran gerakan Revolusi Hijau di Kabupaten Kupang.
Untuk itu, pihaknya telah menyiapkan demplot pada tiga lokasi di antaranya Oefafi, Pitani, dan Oeteta dengan total lahan yang akan dimanfaatkan sekitar 8 hektare.
Dijelaskannya, pengembangan tanaman kelor akan dilakukan dengan pola inti yang dilakukan secara intensif dengan tanaman monokultur.
"Misalnya dalam satu kawasan dengan luasan misalnya 1 hektar dapat ditanami sekitar 1.000 pohon dengan jarak tanam 1 meter," katanya mencontohkan.
Selain itu, pola lainnya dilakukan dengan pengembangan secara massal berupa tanaman lorong yang dilakukan masyarakat.
"Hasil dari pola tanaman lorong oleh masyarakat ini nantinya bisa untuk kebutuhan konsumsi sayuran dalam rumah tangga mereka sendiri maupun untuk dijual," katanya.
Baca juga: NTT kembangkan kelor di sepuluh kabupaten