Telaah - Melawan kekerasan terhadap jurnalis perempuan

id jurnalis,kekerasan jurnalis,opini,telaah Oleh Dr Artini*)

Telaah - Melawan kekerasan terhadap jurnalis perempuan

Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kalimantan Selatan, menggelar dialog perempuan, di otel Batung Batulis, Kamis, 23/12/2022 (Antara/Istimewa)

...Jurnalis perempuan jangan hanya menunggu-nunggu peraturan Dewan Pers atau pihak-pihak lain untuk melawan kekerasan seksual
Siapakah sebenarnya yang memikirkan nasib jurnalis perempuan Indonesia yang terabaikan karena kekerasan seksual?

Menurut Ketua Komisi Hukum dan Perundang-uandangan Dewan Pers Arif Zulkifli, Dewan Pers sekarang ini sedang menyusun pedoman peliputan kekerasan seksual dimulai dari ruang redaksi, sekaligus nantinya dapat menjadi dasar verifikasi faktual perusahaan pers.

Para jurnalis perempuan tidak hanya memikirkan bagaimana melawan kekerasan seksual, tapi juga menghadapi beban ganda sebagai jurnalis.

Dengan bekerja di media massa, mereka tidak hanya mencari dan menulis berita, tapi banyak di antaranya juga harus mencari iklan.

Bekerja di media massa, berarti jurnalis perempuan masuk ke dalam lingkaran sebuah industri komersil, yang selain mempunyai tugas dan fungsi sosial, juga harus profit oriented.

Ini berarti, jurnalis perempuan secara langsung atau tidak langsung juga ikut terlibat mencari keuntungan. Apalagi dengan konsep berita layak siar dan laku dijual, ini menunjukkan jurnalis perempuan menghadapi tugas berat.

Seorang jurnalis perempuan yang bekerja di media daring di Jakarta mengungkapkan bahwa ia harus mencari sekitar 40 berita setiap hari, sambil mencari iklan.

Menurut Shoemaker dan Rees (1996), ada lima lingkaran yang dapat mempengaruhi kerja di media, yakni rutinitas media, organisasi media, ekstra media, faktor ideologi, dan jurnalis itu sendiri.

Dengan demikian, jurnalis perempuan tidak bisa bekerja sendirian, karena dia juga berada dalam pusaran lima lingkaran tersebut.

Lingkaran-lingkaran tersebut sampai sekarang masih didominasi laki-laki, yang umumnya bersuara keras.

Di sisi lain, masih banyak jurnalis perempuan yang bekerja di perusahaan media yang masih miskin, karena hanya bergantung pada uang bulanan humas atau iklan pemerintah.

Di Padang, misalnya, masih ada kantor redaksi yang mengontrak ruko atau menumpang di ruang makan keluarga.

Bahkan, ada kantor redaksi dengan dinding kayu yang bersebelahan dengan bengkel atau tak jauh dari tempat pembuangan sampah.

Selain itu, banyak juga jurnalis perempuan ini tidak mempunyai penghasilan tetap, karena gajinya bergantung pada jumlah berita yang dibuatnya atau uang saku dari humas pemerintah daerah.

Sejumlah media daring di Sumatera Barat, mengaku bahwa pemasukannya semata-mata dari dana pemda, sehingga tidak mungkin menggaji wartawan secara tetap, selain dari honor tulisan berita pemda.

Di Palembang, masih ditemukan jurnalis perempuan yang masuk keluar kantor pemerintah atau perusahaan-perusahaan hanya untuk mencari iklan.

Ada yang merangkap sebagai kontraktor.

Dalam pertemanannya di lapangan, jurnalis perempuan juga sulit melepaskan diri dari praktik kloning berita atau ikut bergerombol menemui sumber berita agar mendapat amplop.

Praktik jurnalis merangkap pencari iklan di media, tidak saja melanggar etika, namun juga akan mempengaruhi kredibilitas berita, serta kepercayaan masyarakat Indonesia atas profesi wartawan.

Dengan potret tempat bekerja redaksi yang masih minim seperti itu, dan penghasilan yang tidak menentu, tentu akan berdampak pada citra jurnalis perempuan sebagai profesi.


Bentuk lain

Kalau selama ini asumsi bahwa perempuan menjadi subordinat karena ada dominasi kaum laki-laki, ternyata ada kekerasan bentuk lain, yakni antara perempuan dengan perempuan.

Jurnalis perempuan juga menemui masalah tersendiri dan seringkali merasa tidak nyaman ketika yang menjadi bos adalah perempuan dan anak buahnya perempuan, karena masih kental dengan unsur emosional.

Jumlah perempuan Indonesia yang lebih banyak dibanding laki-laki sebenarnya merupakan suatu peluang untuk bersama-sama mendobrak kekuasaan laki-laki.

Namun, dalam tataran jurnalistik, jumlah jurnalis perempuan masih sangat sedikit untuk dapat memecahkan masalah kekerasan seksual.

Menurut catatan AJI, hanya ada dua perempuan di antara 10 jurnalis laki-laki.

Di sisi lain, masalah kekompakan jurnalis perempuan sekarang ini untuk secara bersama melawan kekerasan seksual masih belum mengemuka secara formal.

Padahal, kendala ini akan terus mengendap dalam diri jurnalis perempuan.

Tantangan yang dihadapi cukup berat, namun jurnalis perempuan berhak untuk beraktivitas di ruang publik tanpa rasa takut untuk dilecehkan secara fisik dan verbal.

Perempuan juga berhak berekspresi di dunia maya tanpa rasa takut dihina dan dilecehkan.


Body shaming adalah kekerasan