Jakarta (ANTARA) - Hanya segelas es teh! Barang sederhana itu kini menjadi panggung sunyi yang riuh oleh makna. Dalam kilauan es yang mencair perlahan, ada cerita tentang kerja keras, tentang mimpi-mimpi kecil yang terlipat rapi dalam lipatan kain lusuh seorang pedagang kaki lima.
Ia bukan sekadar menjajakan minuman dingin; ia menjual keberanian, menjajakan harapan, dan menyuguhkan harga diri.
Namun, di tengah lalu-lalang dunia yang begitu sibuk memuja gengsi dan panggung kejayaan, segelas es teh itu nyaris kehilangan martabatnya.
Ia menjadi subjek bisu dalam percakapan yang panas, tentang kuasa dan kata-kata. Tentang bagaimana seorang manusia, dalam kesederhanaannya, dipandang dari atas.
Ia bukan lagi seorang pedagang yang gigih, melainkan sekadar bayangan kecil, yang kabur dibalik halimun, di antara langkah-langkah besar.
Peristiwa ini mengingatkan semua orang pada satu hal yang mendasar bahwa martabat manusia tak pernah ditentukan oleh apa yang ia bawa, apa yang ia jual, atau di mana ia berdiri.
Martabat adalah hakikat, ia lekat pada setiap napas yang dihela, pada setiap langkah yang diambil, tak peduli apakah ia berada di panggung megah atau di emperan jalan.
Dalam dunia yang kini begitu fasih berbicara tentang kesetaraan, justru kepekaan bangsa ini terhadap yang kecil, yang tampak tak berarti, sering kali menjadi ujian sejati.
Apakah semua benar-benar memahami bahwa di balik dagangan sederhana itu ada doa yang dilayangkan ke langit?
Bahwa di balik senyumnya yang dipaksakan ada keluarga yang menunggu dengan piring kosong? Bahwa ketika ia berdiri di sana, ia sebenarnya sedang memperjuangkan martabat yang tak ternilai?
Nilai sebuah Bangsa