Parpol harus selektif usung figur dalam Pilkada

id mantan napi koruptor

Parpol harus selektif usung figur dalam Pilkada

Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang, MSi. (ANTARA FOTO/Bernadus Tokan)

"Dengan adanya putusan MK, maka partai politik sebagai institusi demokrasi yang melaksanakan fungsi rekrutmen, diharapkan lebih selektif dalam merekrut figur yang akan diusung dalam pilkada mendatang," kata Ahmad Atang.
Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang, MSi mengatakan partai politik harus lebih selektif dalam merekrut figur pemimpin untuk dicalonkan dalam setiap momentum Pilkada.

"Dengan adanya putusan MK, maka partai politik sebagai institusi demokrasi yang melaksanakan fungsi rekrutmen, diharapkan lebih selektif dalam merekrut figur yang akan diusung dalam pilkada mendatang," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Jumat (13/12).

Dia mengemukakan pandangan itu, berkaitan dengan putusan MK yang membolehkan mantan napi koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dan apa yang mesti dilakukan partai politik dalam merekrut calon.

Menurut dia, di sini komitmen partai dipertaruhkan untuk memilih figur yang memiliki rekam jejak bersih dari kolusi korupsi dan nepotisme (KKN).

Jika partai mengakomodir mantan koruptor untuk ikut dalam kontestasi pilkada, maka partai tersebut tidak lebih dari rental politik.

Baca juga: Mau tahu politik romantisme Surya Paloh kepada Megawati?

Dia mengatakan, pintu pertama yang menyeleksi calon pilkada adalah parpol, meski partai politik bukan satu-satu jalur untuk menjadi peserta pilkada, karena ada jalur perseorangan.

Jika jalur ini yang digunakan oleh mantan koruptor, maka pintu kedua adalah masyarakat sebagai pemegang kedaulatan.

"Karena itu, kita berharap agar masyarakat tidak mendelegasikan suaranya kepada mantan koruptor, tetapi kepada orang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin," katanya.

Ia menambahkan "Sebagai orang yang telah memiliki catat sosial karena perilaku korupsi, jika diberi kepercayaan sama dengan kita sedang membiarkan praktik korupsi terus berkembang karena kekuasaan selalu membuka potensi terjadinya korupsi," katanya.

"Dan jika partai politik dan masyarakat memberi ruang bagi aktor-aktor korupsi berkuasa, maka kita sedang memelihara bandit-bandit demokrasi untuk menggerogoti rahim negeri ini," demikian Ahmad Atang.

Baca juga: Artikel - Benarkah Megawati gagal lakukan restorasi politik?