Kupang (AntaraNews NTT) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Bataona MA berpendapat sulit menghindari politisasi suku agama dan rasa (SARA) dalam pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTT tahun 2018.
"Bisa dilihat bahwa sejak Desember 2017, sudah ada banyak sekali wacana destruktif yang bertebaran di ruang publik politik NTT, yang isinya adalah fitnah, politisasi isu SARA terutama agama dan suku," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat.
Dia mengemukakan hal itu, ketika dimintai pandangan seputar deklarasi menolak dan melawan politik uang dan politisasi SARA dalam Pilkada serentak 2018, dan bagaimana pelaksanaan di lapangan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengawas Pemilu (Panwas) se Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, (14/2) menggelar deklarasi menolak dan melawan politik uang dan politisasi SARA dalam Pilkada serentak 2018.
Deklarasi yang diikuti empat pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT ini, bertujuan untuk melahirkan Pilkada 2018 yang berintegritas.
Menurut dia, sudah banyak sekali wacana destruktif yang bertebaran di ruang publik politik NTT, yang isinya adalah fitnah, dan politisasi isu SARA.
Bahkan, saling serang secara brutal antarpara tim sukses dan simpatisan yang kadang hadir dengan akun-akun palsu dan akun anonim di laman dunia maya.
"Ini menurut saya, sudah menggarisbawahi bahwa Pilgub NTT 2018 sedang mengulang praktek politik lama, yaitu pertarungan politik yang sangat brutal di putaran ke dua Pilgub NTT 2013 silam," katanya.
Menurut dia, KPU NTT dan Bawaslu seharusnya sudah melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi untuk meneliti dan mengidentifikasi potensi-potensi ini.
"Minimal di Pilgub kali ada tim khusus dari KPU dan Bawaslu yang fokus melakukan `patroli` ke semua group diskusi dan akun media sosial pemilih di NTT," katanya.
Mungkin Tim KPU bisa bekerja sama dengan tim Cyber Crime polda NTT atau menggandeng perguruan tinggi karena menjaga kondusifitas pertarungan opini di udara atau di dunia maya itu sangat penting demi menaikan mutu demokrasi di NTT.
Hal berikut, menurut dia, adalah sebagai sebuah acara seremonial, deklarasi damai dan menolak politisasi SARA semacam itu perlu juga dikreasikan dalam wujud pesan-pesan simpatik yang nyata.
Misalnya dengan mnggandeng tokoh agama dan tokoh adat berkeling ke semua wilayah untuk bisa meredam gesekan di level kelas menengah kota dan masyarakat desa.
"Tetapi saya melihat publikasi secara luas hingga sosialisasi ke kampung dan desa lewat media cetak juga media lainnya sangat kurang," katanya.
Karena itu, secara umum dia melihat bahwa deklarasi menolak politisasi SARA, politik uang serta damai dan janji untuk mengedukasi atau mencerahkan publik hanyalah sebuah tahapan yang secara prosedural memang harus dilakukan.
Hanya saja, implementasinya di lapangan justru akan sebaliknya. Ini bukan mau `underestimate` dengan para penyelenggara dan calon tapi memang realitanya memang demikian.
Bahwa politik gagasan yang cirinya adalah pertarungan ide atau gagasan secara terbuka dan diskursif di ruang publik politik NTT, masih jauh panggang dari api.
"Model demokrasi kita di NTT adalah demokrasi rendah mutu, sebab masih jauh dari model demokrasi berbasiskan adu ide dan gagasan yang oleh filosof Jurgen Habermas disebut sebagai demokrasi deliberatif," katanya menambahkan.
Sulit hindari politisasi SARA dalam Pilgub
"Bisa dilihat bahwa sejak Desember 2017, sudah ada banyak sekali wacana destruktif yang bertebaran di ruang publik politik NTT, yang isinya adalah fitnah, politisasi isu SARA terutama agama dan suku," kata Mikhael Bataona.