Analis politik: Pengunduran diri Airlangga dari Ketum Golkar sebuah kudeta politik

id airlangga,golkar,mik bataona,munaslub golkar

Analis politik: Pengunduran diri Airlangga dari Ketum Golkar sebuah kudeta politik

Analis politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona (ANTARA/Bernadus Tokan)

Ketika ini dilakukan terhadap Golkar yang adalah sebuah partai besar yang sekaligus menjadi simbol dan pilar demokrasi di Indonesia, maka bisa dipastikan bahwa kualitas demokrasi di negeri ini sedang terjun bebas
Kupang (ANTARA) - Analis politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Rajamuda Bataona menilai, pengunduran diri Airlangga Hartarto dari Ketua Umum DPP Partai Golkar sebagai sebuah kudeta politik yang halus.

"Bacaan saya, ini semacam kudeta politik yang halus. Kudeta terhadap sebuah partai besar di republik ini yaitu partai Golkar. Kudeta ini didesain sejak lama oleh proxi dan operator kekuasaan dari pihak yang sangat powerfull di republik ini, karena tidak mungkin seorang Ketum sekaligus Menteri Koordinator rela mundur dari jabatan super strategis ini jika bukan karena ditekan dan diancam secara halus," kata Mikhael Bataona di Kupang, Senin (12/8).

Dia mengemukakan pandangan itu terkait pengunduran diri Airlangga Hartarto dari Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Airlangga Hartarto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Golkar di Jakarta, Minggu, (11/8).

Dalam video resmi yang disiarkan Partai Golkar di Jakarta, Minggu (11/8) kemarin Airlangga menjelaskan alasan dia mundur karena ingin menjaga keutuhan Partai Golkar dan memastikan stabilitas selama transisi pemerintahan dari Presiden RI Joko Widodo ke Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

Menurut Bataona, ini jelas sebuah permainan kekuasaan tingkat tinggi, sekaligus sebuah praktik politik yang sangat tidak elok dan sungguh tidak etis di sebuah negara republik demokratis.

"Ketika ini dilakukan terhadap Golkar yang adalah sebuah partai besar yang sekaligus menjadi simbol dan pilar demokrasi di Indonesia, maka bisa dipastikan bahwa kualitas demokrasi di negeri ini sedang terjun bebas," katanya. 


Baca juga: Airlangga Hartarto mundur sebagai ketum Golkar
Baca juga: Airlangga diisukan mundur dari Ketum Golkar


Selain itu, dalam amatan saya, karena Golkar yang adalah partai dengan institusionalisasi partai sangat kuat dan juga sudah sukses menjadi partai moderen bisa dikudeta, maka partai lain pun sesungguhnya bernasib sama. 

Hanya saja, tidak semuanya kelihatan di permukaaan sebab ada partai yang ketua umum partainya memang sudah lama dijinakan dan bisa diatur-atur. 

Sedangkan Airlangga, sejak alotnya penentuan formasi calon Gubernur Jakarta, juga Jawa Barat dan Banten, akhirnya menyerah dan memilih mundur sebab, ia merasa bahwa otonomi partainya sudah tergadaikan. 

Jadi, selama satu tahun terakhir, sejak Airlangga diperiksa dalam kasus hukum ijin ekspor sawit itu, posisinya sebenarnya ibarat dipanggang di atas bara api. Ia sudah dilumpuhkan menggunakan kasus hukum itu. Kasus Kudeta terhadap Ketua Umum Partai Golkar ini, secara akademik mengajarkan satu hal bahwa, teori politik tentang hukum besi oligarki yang ditemukan Robert Michel itu nyata adanya. 

Di mana, menurut Michel, kekuasaan oleh elit, atau oligarki, pada akhirnya tidak dapat dihindari sebagai "hukum besi". Artinya, dalam organisasi demokratis seperti partai politik sekalipun, pada akhirnya terjadi apa yang disebut hukum besi oligarki, yaitu ketika elit yang punya kekuasaan powerfull, demi merespon situasi politik terkini dan di masa depan, lalu menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan organisasi demokratis seperti partai politik sebagai senjata kekuasaan pribadi dan kelompok mereka. 

Baca juga: Airlangga Hartarto sebut Presiden minta komunikasi dengan tim Prabowo dilanjutkan

Inilah yang terjadi pada partai besar seperti Golkar. Di mana Institusi demokrasi yang punya posisi strategis dalam negara ini, akhirnya diambilalih dan  dikendalikan sebagai senjata mengamankan kepentingan politik kelompok elit ini. 

Padahal, meskipun politik itu seni kemungkinan, tidak berarti segala sesuatu dimungkinkan dalam politik. "Menurut saya, Poltik itu panggilan profestif yang sakral karena dibatasi oleh prinsip-prinsip moral yang tidak bisa dinegosiasikan," katanya. 

Prinsip itu ibarat aturan dalam permainan catur. Anda boleh mengganti anak catur dengan batu dan kerikil tetapi jika anda mengubah aturan permainan catur untuk mendapat keuntungan di dalam permainan, maka permainan catur itu sudah runtuh. Catur bukan lagi catur. Politik pun demikian. Politik membenarkan muslihat dan akal, tapi tidak membenarkan penipuan, dan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. 

Kasus Golkar ini menjadi contoh bagaimana entitas epit yang punya power sangat besar mempraktekan cara-cara berpolitik yang tidak punya landasan pada prinsip moral-etis dan tanpa hati nurani, demikian Mikhael Bataona.