Kupang (AntaraNews NTT) - Gendang kampanye pilkada serentak 2018 sudah ditabuhkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bagi para calon kepala daerah di 10 kabupaten se-Nusa Tenggara Timur serta para calon gubernur-wakil gubernur NTT sejak 15 Februari lalu.
Selama 129 hari ke depan hingga 23 Juni 2018, para calon kepala daerah, baik bupati-wakil bupati maupun gubernur-wakil gubernur NTT, akan bertarung menjual gagasan, ide serta visi dan misi kepada rakyat pemilih untuk mendapat simpati.
Namun, ada satu hal yang paling ditakutkan adalah upaya mengadudomba rakyat serta mengacaukan harmonisasi hubungan antaragama dan antarumat beragama di daerah ini lewat politisasi SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang disebarkan melalui akun media sosial yang ada.
Selain politisasi SARA dalam arena kampanye pilkada, ada juga hal lain yang tidak kalah seremnya dalam proses politik tersebut, yakni merampas hak-hak demokrasi rakyat dengan uang (money politics) menjelang hari H pelaksanaan pilkada atau melalui sebuah operasi bernama serangan fajar.
Dalam menghadapi era digital saat ini, generasi millenial yang hidup di zaman "now" (kini) pasti lebih banyak bersosialisasi diri di dunia maya, entah melalui akun Facebook, Twitter, Instagram, Blog dan Youtube, ketimbang di dunia nyata.
Namun, generasi millenial tampaknya kurang mempelajari etika siber, sehingga kadangkala dan seringkali mengirim hal-hal yang negatif serta mengadudomba rakyat lewat isu SARA dengan menskenariokan hoaks sebagai sebuah kebenaran.
Kondisi ini tampaknya sangat ditakutkan oleh Ketua Majelis Sinode GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) Pendeta Merry Kolimon, sehingga ia meminta para Calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT agar tidak menjadikan isu perbedaan SARA sebagai amunisi untuk menyerang lawan politik saat berkampanye.
"Para calon kepala daerah jangan mengekspolitasi isu SARA menjadi amunisi untuk berkampanye, itu sangat merusak keutuhan hidup bermasyarakat," katanya dan menambahkan bahwa kampanye politik di masa lalu belum benar-benar menjadi ajang pendidikan politik yang baik bagi rakyat.
"Banyak calon kepala daerah pada saat itu justeru mengekploitasi isu SARA untuk menarik simpati masyarakat. Akibatnya, masyarakat semakin terpuruk menjadi pemilih emosional, bukan lagi menjadi pemilih yang rasional," katanya menegaskan.
Atas dasar itu, Ketua Sinode GMIT periode 2015-2019 itu mengimbau para jemaatnya agar menghindari berbagai bentuk kampanye hitam yang disebarluaskan melalui media sosial.
"Jemaat sebagai pemilih jangan termakan informasi negatif, hindari segala bentuk kampanye hitam yang disebarkan orang yang tidak bertanggung-jawab di berbagai jejaring media sosial," ujarnya.
Media sosial melalui berbagai jejaringnya dapat menjadi media pendidikan politik yang baik, namun sering kali disalahgunakan sebagai alat pemecah belah yang berbahaya.
"Kita belajar dari pilkada-pilkada sebelumnya bahwa saling menghujat, menghina, dan menyerang lewat jejaring sosial maupun media online sangat berpotensi merusak keutuhan hidup bermasyarakat," kata pendeta perempuan pertama yang menjadi Ketua Sinode GMIT itu.
Anak sulung dari tujuh (7) bersaudara ini meminta masyarakat atau jemaat agar kritis mengkonsumsi berbagai informasi yang disebarluaskan melalui medsos pada pelaksanaan pilkada serentak 2018 di NTT.
Pelaksanaan pilkada serentak 2018 akan berlangsung di 10 kabupaten se-NTT, masing-masing Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Alor, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, dan Sikka.
Selain itu, pada saat yang bersamaan, masyarakat NTT juga harus menyukeskan penyelenggaran pemilu gubernur untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 pada 27 Juni mendatang.
Jangan Terjebak
Pilkada sering memicu terjadi konflik, akibat masyarakat terjebak pada hoaks yang berbau provokatif dari sumber yang tidak jelas dan tidak bertanggung jawab. Atas dasar itu, Merry Kolimon mengajak para pemilih agar tidak terjebak dalam skenario mengadudomba tersebut.
"Kita berharap agar para calon pemimpin maupun tim kampanye menggunakan media sosial untuk menjelaskan visi, strategi, dan program, tanpa harus menyerang lawan-lawan politiknya," katanya.
Antropolog budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD mengakui bahwa masih banyak informasi terkait Pilkada yang disebarluaskan melalui media sosial berisikan hal-hal yang tidak mendidik bahkan provokatif.
"Ini menjadi tanggung jawab kita semua sebagai masyarakat politik agar menghindari diri dari pemberitaan yang tidak benar dan tidak riil sehingga kita semakin cerdas dalam berdemokrasi," kata rohaniawan Katolik itu.
Ketua KPU NTT Maryanti Luturmas Adoe juga meminta para pasangan calon gubernur-wakil gubernur agar mengutamakan kampanye edukatif sebagai bagian dari pembelajaran politik kepada masyarakat setempat.
"Kita harus menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan dalam masyarakat," katanya dan mengharapkan agar kampanye hendaknya dilakukan secara tertib, sopan, bijak dan beradab, serta tidak bersifat provokatif.
Putri mantan Wali Kota Kupang Danie Adoe itu mengatakan jika terjadi pelanggaran, ada sejumlah sanksi yang diberikan kepada pasangan calon kepala daerah tersebut, entah itu dalam bentuk peringatan tertulis, penghentian kegiatan kampanye, penarikan bahan kampanye, penurunan alat peraga, penghentian penayangan iklan kampanye, sanksi pidana, hingga pembatalan pasangan calon.
Politik Uang
Politik uang juga dinilai sebagai salah satu sumber penyebab tidak berkembangnya demokrasi di Indonesia, sebab hal itu memang sulit untuk dihindari dalam setiap momentum perebutan kekuasaan seperti pilkada saat ini.
"Politik uang selalu marak dalam setiap perhelatan politik, tidak saja di pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau pemilu legislatif, akan tetapi ada di setiap setting sosial yang memiliki potensi kekuasaan dan itu sulit dihindari," kata Dr Ahmad Atang.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang itu berpendapat satu-satunya cara untuk meminimalisir politik uang adalah dengan melakukan gerakan budaya untuk melawannya, karena orang yang berbudaya akan memiliki rasa malu jika terlibat politik uang.
Sebab, kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan oleh tingkat ekonomi, pendidikan dan aksesibilitas masyarakat, namun kultur sosial ikut memberikan kontribusi dalam mencegah politik uang. Karena itu, kearifan lokal mestinya direvitalisasi sebagai wahana dalam membangun politik yang beradab tanpa uang.
Di sisi lain, politik pilkada merupakan arena pertarungan yang melibatkan emosi publik, fanatisme, persaingan dan isu dengan melibatkan massa yang terkadang pada titik tertentu menimbulkan eskalasi lokal yang mengarah kepada anarkisme.
Dan, untuk mewujudkannya, maka gerakan budaya ini harus dimulai dari para elite politik, karena dalam politik paternalistik perilaku elit menjadi referensi publik, maka praktik demokrasi lokal harus mampu memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Dengan demikian, politisasi SARA dalam bentuk apapun pasti bisa terhindarkan hanya dengan kedewasaan pemilih dalam memilih dan memilah informasi serta gerakan budaya untuk meredam praktik politik uang yang semakin tidak terkendali dalam musim pilkada saat ini.