Kupang (AntaraNews NTT) - Pengamat otonomi daerah dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Tomy Susu mengatakan, daftar pemilih sementara (DPS) akan tetap menjadi masalah, sepenjang e-KTP. yang baku menetapkan NIK dan kartu keluarga belum final.
"Sepanjang e-KTP yang baku menetapkan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga belum final, DPS akan tetap menjadi masalah," katanya kepada Antara di Kupang, Selasa (3/4) terkait cara kerja para petugas pemutakhiran data saat melakukan pencocokan daftar pemilih sehingga terkesan hanya menghamburkan biaya.
Bawaslu Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menemukan kekeliruan dalam DPS seperti pemilih yang sudah meninggal atau pindah status, tetapi masih masuk dalam daftar pemilih sementara untuk pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTT tahun 2018.
Menurut dia, KPU berhadapan dengan fakta bahwa mereka tidak punya aturan baku atau tetap untuk menetapkan individu atau rakyat pemilih kecuali umur.
"Varian umur saja walaupun jelas tanggal lahir, akan tetapi periode delapan bulan sebelum pencoblosan sudah harus terdata," katanya.
Baca juga: Pilkada 2018 - DPS bermasalah akan diperbaiki
Padahal dalam masa delapan bulan itu, hanya tersedia data di sekolah (bisa dilihat di ijazah) dan di gereja (bisa dilihat pada surat baptis).
Dia mengatakan, kepala keluarga boleh jadi tahu umur anaknya, tetapi ketika petugas pemutakhiran data mengunjungi rumah, para orang tua ada di kebun atau kantor.
Apalagi keluarga yang belum memiliki Kartu Keluarga (KK) yang valid. Anak-anak biasanya tidak perduli akan kehadiran petugas pemutakhiran data yang dikirim oleh KPU.
Padahal mungkin saja pada pemungutan suara pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTT 27 Juni nanti ada anak yang sudah berusia 17 tahun.
Selain bermasalah pada subyek pemilih, pemerintah tingkat lokal (RT/RW) juga dalam posisi yang sama seperti para orang tua di kebun atau kantor, katanya.
Baca juga: Pilkada 2018 - DPS masih banyak bermasalah
Dia menambahkan, para petugas pemutakhiran data pemilih memiliki visi-misi dan ideologi yang berbeda dengan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Target mereka adalah memperoleh honor sebagai petugas pemutakhiran sehingga bukan tidak mungkin mereka tidak maksimal mengejar potensi seluruh pemilih sebagaimana visi-misi-ideologi KPU," kata pengajar pada Fisip Unwira Kupang itu.