Kupang (ANTARA) - Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dengan adanya pekerjaan maka manusia dapat hidup layak untuk dapat memenuhi kehidupan diri sendiri dan keluarganya, seperti diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) Perubahan UUD 1945.
Konstitusi tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak atas pekerjaan dengan menyediakan lapangan pekerjaan.
Namun, karena keterbatasan lowongan pekerjaan yang ada di Indonesia menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia yang mengadu nasib ke luar negeri, sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
Dengan menyadari pentingnya perlindungan terhadap TKI yang telah menyumbang devisa bagi negara, maka pada tanggal 25 Oktober 2017 DPR telah mensahkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Yang dimaksud dengan pekerja migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan sedang atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
Sedang, yang dimaksud dengan perlindungan terhadap PMI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon PMI dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum, selama dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi dan sosial.
Sementara dalam UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menekankan pentingnya pemberian perlindungan warga negara yang menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah.
Menurut Wakil Ketua Komisi Kejakaan RI Erna Ratnaningsih, dari kedua definisi tersebut maka perlindungan terhadap TKI dalam UU yang baru dilakukan sejak dini baik sebelum, selama dan setelah bekerja dibandingkan dengan UU yang lama yang memberikan perlinduangan pada saat penempatan TKI.
Paradigma baru bagaimana peran negara dalam perlindungan TKI terdapat di dalam penjelasan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI lebih menekankan dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Dalam UU ini, peran perlindungan PMI diserahkan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah dimulai dari sebelum, selama dan setelah bekerja, sedang pihak swasta hanya diberi peran sebagai pelaksana penempatan PMI.
Tujuan utama dari perlindungan calon PMI adalah menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga negara dan PMI, serta menjamin perlindungan hukum, ekonomi dan sosial PMI dan keluarganya.
Sejumlah warga mengangkat peti jenazah. (ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi)
73 jenazah
Namun, kondisi ini bertolak belakang dengan situasi yang dihadapi PMI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkesan berjalan sendiri, sehingga pihak keluarga yang ditinggalkan di kampung halaman hanya bisa menerima jazad mereka dalam bentuk mayat di peti mati.
Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi NTT mencatat telah menerima 73 jenazah pekerja migran Indonesia (PMI) asal daerah ini selama Januari-Agustus 2019.
Kepala BP3TKI NTT Siwa mengatakan pada tahun 2017, jumlah PMI yang meninggal dunia dan dikirim ke NTT berjumlah 62 orang jenazah, meningkat menjadi 105 pada tahun 2018.
Siwa hanya bisa berharap agar jumlah pekerja migran Indonesia asal NTT yang menjadi korban di luar negeri bisa dapat ditekan, namun dia sendiri pun tidak tahu bagaimana caranya untuk menekan tingkat kekerasan yang sampai membawa kematianb itu.
PMI asal NTT yang meninggal dunia di luar negeri itu umumnya adalah mereka yang berangkat ke berbagai negara tujuan untuk mencari kerja, tanpa melalui prosedur resmi.
Karena itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menekan jumlah korban adalah mendorong tenaga kerja untuk kerja di luar negeri melalui prosedur resmi. "Hanya dengan melalui jalur resmi, setiap PMI yang dikirim mendapat perlindungan selama berada di negara tujuan," kata Siwa.
Direktur Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa juga mengakui bahwa PMI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal dunia di Malaysia dan beberapa negara jiran lainnya, umumnya adalah para pekerja yang non prosedural.
"Mayoritas pekerja yang meninggal di Malaysia dan beberapa negara jiran lainnya, umumnya dari mereka yang non prosedural. Mereka ke Malaysia dengan modal nekad dengan harapan bisa bekerja di negeri jiran itu untuk mengubah nasib dan masa depannya," kata Gabriel Goa.
Fakta membuktikan bahwa para pekerja migran non prosedural atau ilegal asal NTT itu mengalami kesulitan besar dalam mengakses hak mereka antara lain berupa pelayanan kesehatan, pelayanan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan jaminan hukum.
Selain jaminan mendapatkan upah yang layak sesuai standar organisasi buruh internasional (ILO), dan jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka serta hak-hak lainnya yang diatur dalam Konvensi ILO.
Karena itu, ke depan calon pekerja migran asal NTT diharapkan dapat mengikuti jalur resmi yang sudah diatur dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Pergub NTT.
232 TKI Ilegal Asal NTT Ber-KTP Siak Masuk Malaysia (ANTARA FOTO/Dok)
Ikuti pelatihan
Dalam UU dan Pergub NTT itu mewajibkan pekerja migran mengikuti pelatihan lewat Balai Latihan Kerja Luar Negeri dan mengurus resmi dokumen dan jaminan kerja melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) serta melalui embarkasi NTT.
Gabriel Goa meminta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-NTT, agar sungguh-sungguh mengoptimalkan secara profesional LTSA yang sudah dibangun di Tambolaka untuk layani calon pekerja migran asal Sumba, Kupang untuk melayani calon pekerja migran asal Pulau Timor, Sabu Raijua, Rote Ndao dan Semau serta Maumere untuk layani para pekerja migran asal Pulau Flores, Palue, Solor, Adonara, Lembata dan Alor.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan NTT harus memiliki BLK berstandar internasional untuk mempersiapkan tenaga kerja secara baik sebelum dikirim ke luar negeri.
"Daerah-daerah yang memiliki persediaan tenaga kerja seperti di NTT harus memiliki BLK berstandar internasional supaya pekerja migran kita diminati. Pada sejumlah negara yang kami kunjungi, mereka menginginkan pekerja dari NTT karena aspek dedikasi dan keadilan," katanya.
Karena itu, BLK tampaknya harus disiapkan pemerintah supaya faktor keahlian, penyesuaian diri dan sebagainya betul-betul berstandar internasional, sehingga para pekerja migran asal NTT menjadi rebutan di pasar internasional.
Pemerintah Provinsi NTT sendiri menargetkan memiliki sebanyak 30 unit BLK untuk mempersiapkan calon-calon tenaga kerja berkualitas guna siap bersaing di pasar kerja internasional. "Saat ini, kami hanya miliki tujuh unit BLK, sehingga tidak bisa bergerak secara luar biasa untuk menghasilkan calon-calon tenaga kerja yang handal," kata Gubernur NTT Viktor Laiskodat.
Menurut dia, komunikasi antarbudaya merupakan salah satu aspek penting yang perlu dipersiapkan secara baik sebelum mengirim tenaga kerja ke berbagai tempat tujuan. "Sebagai gubernur saya tidak ingin mengirim orang yang pergi mati karena kebodohan gubernurnya," kata Viktor Laiskodat.
Sejumlah korban perdagangan manusia (human trafficking) yang berhasil diamankan berada di Mapolres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, jatim, Senin (5/3). Jajaran Polres Pelabuhan Tanjung Perak mengamankan 33 orang korban trafficking dari kapal Dharma Kencana dari Maumere, NTT yang baru sandar di Pelabuhan Roro. (FOTO ANTARA/M Risyal Hidayat)
Konstitusi tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak atas pekerjaan dengan menyediakan lapangan pekerjaan.
Namun, karena keterbatasan lowongan pekerjaan yang ada di Indonesia menyebabkan banyaknya warga negara Indonesia yang mengadu nasib ke luar negeri, sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
Dengan menyadari pentingnya perlindungan terhadap TKI yang telah menyumbang devisa bagi negara, maka pada tanggal 25 Oktober 2017 DPR telah mensahkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Yang dimaksud dengan pekerja migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan sedang atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
Sedang, yang dimaksud dengan perlindungan terhadap PMI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon PMI dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum, selama dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi dan sosial.
Sementara dalam UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menekankan pentingnya pemberian perlindungan warga negara yang menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah.
Menurut Wakil Ketua Komisi Kejakaan RI Erna Ratnaningsih, dari kedua definisi tersebut maka perlindungan terhadap TKI dalam UU yang baru dilakukan sejak dini baik sebelum, selama dan setelah bekerja dibandingkan dengan UU yang lama yang memberikan perlinduangan pada saat penempatan TKI.
Paradigma baru bagaimana peran negara dalam perlindungan TKI terdapat di dalam penjelasan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI lebih menekankan dan memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Dalam UU ini, peran perlindungan PMI diserahkan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah dimulai dari sebelum, selama dan setelah bekerja, sedang pihak swasta hanya diberi peran sebagai pelaksana penempatan PMI.
Tujuan utama dari perlindungan calon PMI adalah menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga negara dan PMI, serta menjamin perlindungan hukum, ekonomi dan sosial PMI dan keluarganya.
Namun, kondisi ini bertolak belakang dengan situasi yang dihadapi PMI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkesan berjalan sendiri, sehingga pihak keluarga yang ditinggalkan di kampung halaman hanya bisa menerima jazad mereka dalam bentuk mayat di peti mati.
Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi NTT mencatat telah menerima 73 jenazah pekerja migran Indonesia (PMI) asal daerah ini selama Januari-Agustus 2019.
Kepala BP3TKI NTT Siwa mengatakan pada tahun 2017, jumlah PMI yang meninggal dunia dan dikirim ke NTT berjumlah 62 orang jenazah, meningkat menjadi 105 pada tahun 2018.
Siwa hanya bisa berharap agar jumlah pekerja migran Indonesia asal NTT yang menjadi korban di luar negeri bisa dapat ditekan, namun dia sendiri pun tidak tahu bagaimana caranya untuk menekan tingkat kekerasan yang sampai membawa kematianb itu.
PMI asal NTT yang meninggal dunia di luar negeri itu umumnya adalah mereka yang berangkat ke berbagai negara tujuan untuk mencari kerja, tanpa melalui prosedur resmi.
Karena itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menekan jumlah korban adalah mendorong tenaga kerja untuk kerja di luar negeri melalui prosedur resmi. "Hanya dengan melalui jalur resmi, setiap PMI yang dikirim mendapat perlindungan selama berada di negara tujuan," kata Siwa.
Direktur Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa juga mengakui bahwa PMI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal dunia di Malaysia dan beberapa negara jiran lainnya, umumnya adalah para pekerja yang non prosedural.
"Mayoritas pekerja yang meninggal di Malaysia dan beberapa negara jiran lainnya, umumnya dari mereka yang non prosedural. Mereka ke Malaysia dengan modal nekad dengan harapan bisa bekerja di negeri jiran itu untuk mengubah nasib dan masa depannya," kata Gabriel Goa.
Fakta membuktikan bahwa para pekerja migran non prosedural atau ilegal asal NTT itu mengalami kesulitan besar dalam mengakses hak mereka antara lain berupa pelayanan kesehatan, pelayanan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan jaminan hukum.
Selain jaminan mendapatkan upah yang layak sesuai standar organisasi buruh internasional (ILO), dan jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka serta hak-hak lainnya yang diatur dalam Konvensi ILO.
Karena itu, ke depan calon pekerja migran asal NTT diharapkan dapat mengikuti jalur resmi yang sudah diatur dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Pergub NTT.
Dalam UU dan Pergub NTT itu mewajibkan pekerja migran mengikuti pelatihan lewat Balai Latihan Kerja Luar Negeri dan mengurus resmi dokumen dan jaminan kerja melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) serta melalui embarkasi NTT.
Gabriel Goa meminta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se-NTT, agar sungguh-sungguh mengoptimalkan secara profesional LTSA yang sudah dibangun di Tambolaka untuk layani calon pekerja migran asal Sumba, Kupang untuk melayani calon pekerja migran asal Pulau Timor, Sabu Raijua, Rote Ndao dan Semau serta Maumere untuk layani para pekerja migran asal Pulau Flores, Palue, Solor, Adonara, Lembata dan Alor.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan NTT harus memiliki BLK berstandar internasional untuk mempersiapkan tenaga kerja secara baik sebelum dikirim ke luar negeri.
"Daerah-daerah yang memiliki persediaan tenaga kerja seperti di NTT harus memiliki BLK berstandar internasional supaya pekerja migran kita diminati. Pada sejumlah negara yang kami kunjungi, mereka menginginkan pekerja dari NTT karena aspek dedikasi dan keadilan," katanya.
Karena itu, BLK tampaknya harus disiapkan pemerintah supaya faktor keahlian, penyesuaian diri dan sebagainya betul-betul berstandar internasional, sehingga para pekerja migran asal NTT menjadi rebutan di pasar internasional.
Pemerintah Provinsi NTT sendiri menargetkan memiliki sebanyak 30 unit BLK untuk mempersiapkan calon-calon tenaga kerja berkualitas guna siap bersaing di pasar kerja internasional. "Saat ini, kami hanya miliki tujuh unit BLK, sehingga tidak bisa bergerak secara luar biasa untuk menghasilkan calon-calon tenaga kerja yang handal," kata Gubernur NTT Viktor Laiskodat.
Menurut dia, komunikasi antarbudaya merupakan salah satu aspek penting yang perlu dipersiapkan secara baik sebelum mengirim tenaga kerja ke berbagai tempat tujuan. "Sebagai gubernur saya tidak ingin mengirim orang yang pergi mati karena kebodohan gubernurnya," kata Viktor Laiskodat.