Kupang (ANTARA) - Komisi Nasional Perempuan menyatakan bahwa aksi kekerasan yang masih berlanjut di Desa Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam menyelesaikan konflik memperebutkan lahan Pubabu Besipae secara partisipatoris.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani kepada ANTARA di Kupang, Sabtu (17/10), mengatakan, pihaknya menyesalkan terjadinya kekerasan berulang terhadap sejumlah ibu dan remaja perempuan seperti yang beredar melalui video yang terjadi pada Rabu (14/10) lalu.

Baca juga: Konflik memperebutkan lahan kembali terjadi di Besipae
Baca juga: PGI kecam oknum aparat yang backup preman dalam tindak kekerasan di Besipae

"Sebenarnya kami sudah mengirimkan surat rekomendasi Komnas Perempuan atas konflik itu kepada Gubernur NTT dan DPRD NTT pada 24 Juni lalu. Namun kami memperoleh informasi tentang perkembangan penyelesaian konflik di desa itu tidak sejalan dengan rekomendasi Komnas Perempuan," katanya.

Hal ini, katanya, terbukti pada Rabu (14/10) lalu kembali terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui video yang beredar di masyarakat.

Tak hanya itu, pihaknya juga mendapatkan laporan bahwa terjadi penggusuran paksa terhadap 29 kepala keluarga, terdiri dari 34 laki-laki, 50 perempuan, di antaranya terdapat 6 orang Lanjut Usia (lansia), 48 anak-anak, 6 bayi dan 2 ibu hamil, dan 6 orang ibu menyusui.

Penggusuran paksa ini menyebabkan warga, khususnya perempuan dan anak-anak ketakutan dan kecewa atas proses yang diwarnai dengan cara-cara kekerasan.

Warga yang tidak mengetahui harus ke mana untuk berteduh, dan kehilangan harta benda rumah tangganya selanjutnya mendirikan bangunan sebagai tempat hunian sementara, katanya.

Ia mengatakan, dalam pengungsian itu warga tentu membutuhkan ketersediaan air bersih, bahan makanan, perlengkapan sanitasi, obat-obatan, pakaian dan layanan kesehatan khususnya untuk balita dan ibu hamil.

Yentriyani mengatakan, kekerasan yang terjadi saat ini merupakan kekerasan berulang- berlanjut dari konflik kepemilikan lahan dan pengelolaan hutan Besibae dan penggusuran paksa terhadap penduduk yang telah lama tinggal secara turun temurun di kawasan itu.

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menegaskan hubungan hak atas tanah dengan hak-hak lainnya.

Pemenuhan hak atas tanah memiliki tautan yang luas pada pemenuhan hak-hak lainnya, seperti hak atas pemenuhan pangan yang layak, hak atas air, hak untuk tidak digusur, dan hak lainnya.

Dalam konteks pandemi COVID-19, pemerintah daerah juga wajib melakukan kebijakan pencegahan penularan COVID-19 terhadap penduduk Pubabu Besipae di antaranya memberikan hunian, pangan dan lingkungan yang layak.

"Oleh karena itu kami meminta agar kekerasan terhadap perempuan dan anak di Besipae yang terus berulang ini harus dihentikan. Para pihak, khususnya pemerintah daerah harus mengedepankan penyelesaian tanpa kekerasan dalam kasus konflik hutan Pubabu," katanya.

Komnas perempuan juga merekomendasikan beberapa hal terkait kasus itu diantaranya, Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) turut serta dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi di Pubabu.

Selain itu DPRD NTT memastikan penyelesaian konflik hutan adat Pubabu-Besipae diselesaikan secara partisipatoris dan komprehensif dengan mengacu pada hak konstitusional warga negara.

Pihaknya merekomendasikan agar gubernur NTT harus menjamin rasa aman dari masyarakat desa Besipae, kemudian memastikan warga terdampak pembangunan instalasi ternak Besipae khususnya perempuan sebagai subyek hukum dilibatkan dalam seluruh proses, termasuk dalam berpendapat dan pengambilan keputusan sejak perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proyek-proyek pembangunan.

Disamping itu juga pemerintah harus memastikan warga yang mengungsi terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti air bersih, makanan, pakaian dan tempat tinggal yang layak, serta layanan kesehatan, pendidikan dan informasi.

Sementara untuk Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT agar melakukan pemulihan terhadap perempuan-perempuan di hutan Pubabu yang menjadi korban konflik.

Lalu pihak Kepolisian Daerah NTT juga diminta melakukan penyelidikan tindak kekerasan yang menimpa perempuan dan anak perempuan sebagaimana nampak dalam video yang beredar.

Sebelumnya gubernur NTT Viktor B Laiskodat sudah menyampaikan arahannya terhadap konflik lahan itu, beberapa arahan itu adalah pemerintah NTT sudah melibatkan masyarakat dalam program peternakan dan pemerintah. Bahkan pemerintah sendiri juga sudah memberikan lahan seluas 800 M2 untuk 37 KK di desa itu.

Beberapa desa seperti Linamnutu, Mio, Enonetan, dan Polo yang wilayahnya masuk dalam areal 3.780 hektare milik pemerintah akan dilakukan pemecahan sertifikat untuk masyarakat yang berada pada desa itu.

Pemprov NTT juga dalam program padat karya melibatkan masyarakat dalam membuka lahan untuk penanaman lamtoro dan kelor di areal Besipae dan diberi upah Rp50 ribu per hari per orang. Pemprov NTT juga mempunyai dasar atas kepemilikan lahan di Besipae dan memiliki bukti atas kepemilikan lahan berupa bukti penyerahan hak oleh Usif Nebuasa pada tahun 1982 dan memiliki sertifikat hak pakai seluas 3.780 hektare.

Baca juga: GMIT dorong penyelesaian konflik di Besipae lewat dialog

Pewarta : Kornelis Kaha
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024