Kupang (AntaraNews NTT) - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni di Kupang, Selasa (15/5), mendesak Indonesia dan Australia untuk membatalkan seluruh perjanjian yang dibuat Indonesia dan Australia antara tahun 1972 sampai 1997 tentang Batas-Batas Maritim di Laut Timor.
Desakan dari pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor itu sebagai konsekuensi logis dari perubahan geopolitik yang signifikan di Laut Timor dengan lahirnya negara baru yang berdaulat bernama Timor Leste pada tahun 2000.
Selain perubahan geopolitik tersebut, terjadi juga perubahan yang signifikan antara Australia dan Timor Leste setelah menandatangani batas wilayah perairan kedua negara di Laut Timor pada 6 Maret 2018.
"Melihat fenomena tersebut, kami mendesak Jakarta dan Canberra untuk segera membatalkan dan menegosiasikan kembali seluruh perjanjian RI-Australia tentang Batas-Batas Maritim di Laut Timor yang pernah dibuat pada 1972 hingga 1997 itu," katanya menegaskan.
"Kami memberi waktu tiga bulan kepada pemerintahan kedua negara untuk merundingkan kembali batas perairan dimaksud dengan melibatkan pemerintah dan DPRD NTT serta komponen masyarakat yang ada di NTT," ujarnya.
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu mengatakan desakan tersebut juga telah disampaikannya secara tertulis kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop tertanggal 20 April 2018.
Baca juga: Rakyat korban pencemaran Laut Timor merasa dikhianati
Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni (tengah) sedang menjelaskan petaka tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya kilang minyak Montara pada 21 Agustus 2009 kepada para jemaat GMIT di Kupang. (ANTARA Foto/Laurensius Molan)
Surat tersebut ditembuskan pula kepada Presiden Joko Widodo, PM Australia Malcolm Turnbull, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Presiden Tribunal Internasional Hukum Laut PBB Jin Hyun Paik, serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih.
Selain itu, ke Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman selaku Wakil Presiden World Ocean Conference Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Australia.
Tanoni mengatakan pembatalan perjanjian yang dimaksudkan adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Batas Dasar Laut dan Zona Perikanan antara kedua negara sangat penting sesuai dengan prinsip-prinsip internasional yang berlaku dengan menggunakan garis tengah (median line).
Ia menilai perjanjian kerja sama antara RI dan Australia ini dipenuhi dengan muatan politik, dan telah berdampak negatif bagi orang-orang Indonesia yang mendiami Pulau Timor bagian barat NTT dan melakukan pemiskinan secara sistematis.
"Australia memperlakukan kami seperti warga dunia kelas tiga. Kami sebagai pemilik Laut Timor sama sekali tidak menikmati hasil yang diperoleh dari kandungan kekayaan sumber daya Laut Timor, bahkan secara brutal diusir oleh Australia," katanya.
Tanoni mengatakan Australia selalu mengedepankan hak kedaulatannya secara sepihak dan tidak benar di Laut Timor itu yang berwal dari penentuan sepihak zona perikanan Australia yang hampir mencaplok Pulau Rote.
Baca juga: Presiden diminta ambil alih kasus pencemaran laut Timor
Ferdi Tanoni (kedua kanan) saat mengadvokasi petani rumput laut asal NTT kepada perusahaan pencemar secara "class action" di Pengadilan Federal Australia di Sydney.
Kemudian, zona perikanan Australia secara sepihak pula ditetapkan sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Australia dengan tujuan untuk mengendalikan semua sumber daya alam yang terkandung di dalam Laut Timor.
Ia mengatakan ZEE Australia yang diklaim secara sepihak ini kemudian ditingkatkan menjadi Perjanjian RI-Australia tahun 1997 tentang ZEE dan batas-batas dasar Laut tertentu yang hingga saat ini belum diratifikasi.
Namun, kata Tanoni, Australia menggunakan Perjanjian 1997 yang belum sah ini sebagai senjatanya untuk mengklaim gugusan Pulau Pasir sebagai teritorinya dan memperlakukan ribuan nelayan tradisional Indonesia secara tidak manusiawi dengan memenjarakan mereka secara sepihak serta memberangus perahu mereka di wilayah tersebut tanpa dasar hukum yang benar dan kuat.
Desakan dari pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor itu sebagai konsekuensi logis dari perubahan geopolitik yang signifikan di Laut Timor dengan lahirnya negara baru yang berdaulat bernama Timor Leste pada tahun 2000.
Selain perubahan geopolitik tersebut, terjadi juga perubahan yang signifikan antara Australia dan Timor Leste setelah menandatangani batas wilayah perairan kedua negara di Laut Timor pada 6 Maret 2018.
"Melihat fenomena tersebut, kami mendesak Jakarta dan Canberra untuk segera membatalkan dan menegosiasikan kembali seluruh perjanjian RI-Australia tentang Batas-Batas Maritim di Laut Timor yang pernah dibuat pada 1972 hingga 1997 itu," katanya menegaskan.
"Kami memberi waktu tiga bulan kepada pemerintahan kedua negara untuk merundingkan kembali batas perairan dimaksud dengan melibatkan pemerintah dan DPRD NTT serta komponen masyarakat yang ada di NTT," ujarnya.
Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Australia itu mengatakan desakan tersebut juga telah disampaikannya secara tertulis kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop tertanggal 20 April 2018.
Baca juga: Rakyat korban pencemaran Laut Timor merasa dikhianati
Selain itu, ke Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman selaku Wakil Presiden World Ocean Conference Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Australia.
Tanoni mengatakan pembatalan perjanjian yang dimaksudkan adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Batas Dasar Laut dan Zona Perikanan antara kedua negara sangat penting sesuai dengan prinsip-prinsip internasional yang berlaku dengan menggunakan garis tengah (median line).
Ia menilai perjanjian kerja sama antara RI dan Australia ini dipenuhi dengan muatan politik, dan telah berdampak negatif bagi orang-orang Indonesia yang mendiami Pulau Timor bagian barat NTT dan melakukan pemiskinan secara sistematis.
"Australia memperlakukan kami seperti warga dunia kelas tiga. Kami sebagai pemilik Laut Timor sama sekali tidak menikmati hasil yang diperoleh dari kandungan kekayaan sumber daya Laut Timor, bahkan secara brutal diusir oleh Australia," katanya.
Tanoni mengatakan Australia selalu mengedepankan hak kedaulatannya secara sepihak dan tidak benar di Laut Timor itu yang berwal dari penentuan sepihak zona perikanan Australia yang hampir mencaplok Pulau Rote.
Baca juga: Presiden diminta ambil alih kasus pencemaran laut Timor
Ia mengatakan ZEE Australia yang diklaim secara sepihak ini kemudian ditingkatkan menjadi Perjanjian RI-Australia tahun 1997 tentang ZEE dan batas-batas dasar Laut tertentu yang hingga saat ini belum diratifikasi.
Namun, kata Tanoni, Australia menggunakan Perjanjian 1997 yang belum sah ini sebagai senjatanya untuk mengklaim gugusan Pulau Pasir sebagai teritorinya dan memperlakukan ribuan nelayan tradisional Indonesia secara tidak manusiawi dengan memenjarakan mereka secara sepihak serta memberangus perahu mereka di wilayah tersebut tanpa dasar hukum yang benar dan kuat.