Artikel - Paradoks cuaca dan upaya menumbuhkan kesadaran perubahan iklim

id artikel iklim,cuaca,bencana alam,iklim Oleh Desca Lidya Natalia

Artikel - Paradoks cuaca dan upaya menumbuhkan kesadaran perubahan iklim

Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal dalam pelatihan "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) di Jakarta. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

...Bukan soal cerita menakut-nakuti misalnya terjadi bencana alam, walau hal itu juga benar tapi bagaimana media juga mengangkat solusi-solusi dari komunitas-komunitas kecil yang perlu diapresiasi
Pemerintah Indonesia juga sedang bekerja dalam melakukan transisi energi, misalnya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Air, Panas Bumi, Surya, Bayu, Biomassa, Biogas, Tenaga Air Laut, dan Bahan Bakar Nabati.

Peraturan tersebut sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menurunkan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 sesuai Nationally Determined Contributions (NDCs) sedangkan untuk Net Zero Emission (NZE) sektor energi ditargetkan akan dicapai pada 2060 atau lebih cepat.

Spesialis Bidang Komunikasi Iklim Yayasan Indonesia CERAH, Arie Rostika Utami, dalam acara yang sama mengakui bahwa meski pemerintah sudah menetapkan target, tapi isu perubahan iklim bagi masyarakat Indonesia kebanyakan masih isu yang "di awang-awang".

"Padahal, kalau rumahmu sudah kebanjiran atau sebaliknya muncul kekeringan, kamu baru mengatakan terjadi perubahan iklim? Sebenarnya setiap saat terjadi dampak dari perubahan iklim," kata Arie.

Dampak dari perubahan iklim dan bahkan dapat berkembang menjadi krisis iklim yaitu terjadi situasi kritis dari perubahan iklim dapat mengakibatkan peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca, kenaikan permukaan laut dan kerusakan ekosistem.

Indonesia menjadi salah salah satu pihak yang menandatangani Perjanjian Paris pada 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada 4 November 2016 agar membuat kebijakan dan aksi iklim demi mencegah suhu bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius. Hal tersebut bahkan telah diratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.

Pada konferensi iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, para pemimpin dunia juga menyepakati perlunya membatasi pemanasan global menjadi 1,5 derajat Celcius pada 2060.

Sayangnya, komitmen dari para pihak melalui Komitmen Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) itu belum cukup ambisius. Walhi menyebut justru NDC dari seluruh negara termasuk Indonesia mengarah pada meningkatnya suhu bumi mencapai 3-4 derajat Celcius.

"'Baseline' Indonesia dalam penurunan emisi masih belum jelas karena target penurunan GRK diambil berdasar prediksi kenaikan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi. Padahal, pertumbuhan ekonomi bisa naik dan turun. Jadi, saat pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk mengurangi GRK bisa saja GRK berkurang karena kondisi ekonomi melemah," ungkap Arie.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, Indonesia berkomitmen untuk memensiunkan 9,2 Gigawatt Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara pada 2030. Lalu, 50 persen kapasitas pembangkit listrik Indonesia berasal dari energi terbarukan pada 2030 termasuk energi matahari, angin, air, geotermal dan Bioenergy with Carbon Capture & Storage (BECCS) yaitu pemanfaatan limbah organik pertanian untuk memproduksi energi.

Pemerintah juga menargetkan bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 meski sejak 2018 hingga 2021, posisi Indonesia hanya mampu mencapai 11,5 persen.

Salah satu upaya pengurangan emisi, pemerintah pun mendorong penggunaan kendaraan listrik (electronic vehicle atau EV), namun Arie menyebut butuh kebijakan lanjutan dibanding hanya memasarkan EV ke publik.

"Karena apapun yang baru di Indonesia, publik pasti akan menyambut, termasuk kendaraan listrik tapi pemerintah perlu menjelaskan ke publik yaitu dengan pertambahan kendaraan pribadi termasuk kendaraan listrik tentu akan menambah kemacetan, jadi bagaimana kalau EV diprioritaskan untuk transportasi publik? Harus ada perspektif lain selain jualan mobil listrik," ucapnya.

Selain itu, pembahasan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Iklim juga perlu dikawal dalam masa sidang 2023 dan 2024 karena hingga saat ini naskah akademik masih ada di badan legislatif.

"Yang diharapkan adalah transparansi Baleg dalam pembuatan naskah dan harus ada target yang pasti di dalam RUU tersebut," kata Arie.

Partisipasi publik