Artikel - Paradoks cuaca dan upaya menumbuhkan kesadaran perubahan iklim

id artikel iklim,cuaca,bencana alam,iklim Oleh Desca Lidya Natalia

Artikel - Paradoks cuaca dan upaya menumbuhkan kesadaran perubahan iklim

Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal dalam pelatihan "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) di Jakarta. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

...Bukan soal cerita menakut-nakuti misalnya terjadi bencana alam, walau hal itu juga benar tapi bagaimana media juga mengangkat solusi-solusi dari komunitas-komunitas kecil yang perlu diapresiasi
Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2023 pada 2 Maret mengatakan bahwa pandemi dan perang bukan lagi hal yang ditakuti dunia saat ini, melainkan perubahan iklimlah yang lebih mengerikan dari kedua hal tersebut.

Agar isu perubahan iklim semakin dipahami masyarakat, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Denmark di Indonesia mengadakan program "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) untuk 10 orang jurnalis Indonesia. Harapannya, dapat belajar mengenai perubahan iklim dan solusinya secara khusus dari pengalaman Denmark.

"Denmark menganggap isu perubahan iklim itu seperti agama, walau mereka bukan orang yang sangat religius tapi mereka sangat fokus untuk isu perubahan iklim. Pertumbuhan ekonomi Denmark bisa berlipat ganda tapi konsumsi energi mereka tetap sama atau bahkan berkurang. Hal ini sangat menarik dan bisa menjadi contoh terbaik bagaimana suatu negara menangani krisis iklim," kata Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal dalam "workshop" ICJN di Jakarta akhir Maret 2023.

Titik awal Denmark serius menyikapi perubahan iklim adalah saat krisis energi pada 1970. Ketika itu sekitar 80 persen sumber energi Denmark berasal dari minyak bumi, padahal Denmark tidak punya sumber minyak bumi sehingga Denmark sangat menderita.

"Tidak ada mobil di jalanan karena tidak ada bahan bakar. Kami pun berupaya untuk mengganti bahan bakar dari minyak ke gas alam,  lalu akhirnya ke energi terbarukan seperti energi surya dan angin," kata Kepala Kerja Sama Sektor Energi Kedutaan Besar Denmark di Indonesia August Axel Zachariae dalam acara yang sama.

Di Denmark, lebih dari 60 persen sumber energi berasal dari angin dan matahari karena kedua jenis energi tersebut dapat diperoleh di dalam negeri tanpa perlu mengimpor.
Kepala Kerja Sama Sektor Energi Kedutaan Besar Denmark di Indonesia August Axel Zachariae dalam pelatihan "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) di Jakarta. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Sejak tahun 1990 sampai 2020, Denmark juga sudah mengurangi konsumsi energi sebesar 15 persen meski Gross Domestic Product (GDP) juga meningkat hingga 62 persen, dan pada saat yang sama Denmark dapat mengurangi emisi GRK sebesar 51 persen.

Bagaimana cara Denmark melakukannya? Menurut Zachariae, pada 1980, listrik di Denmark masih bergantung pada pembangkit-pembangkit listrik besar pemerintah. Pemerintah lalu membolehkan penggunaan maksimal produksi energi terbarukan oleh publik sehingga masyarakat dapat menggunakan pembangkit listrik miliknya sendiri. Dampaknya adalah penggunaan bahan bakar fosil berkurang dan efisiensi energi meningkat.

Desentralisasi itu dilakukan karena Denmark mengalami dampak dari perubahan iklim dengan mencairnya es di Greenland (masih bagian dari Denmark) sehingga meningkatkan permukaan air laut.

Mencairnya es di Greenland itu karena kenaikan suhu bumi. Suhu bumi pada 2011-2020 sudah meningkat 1,09 derajat Celcius dibanding suhu pada periode 1850-1900. Empat dekade terakhir kenaikan suhu bumi bahkan lebih cepat dibanding sebelum 1850.

Di Denmark, kata Zachariae, ada undang-undang (UU) khusus mengenai iklim yang menjadi dasar setiap pemerintahan dapat mengambil kebijakan yang mempertahankan penerapan energi terbarukan sekaligus memberikan dukungan anggaran.

Siklus pembahasan anggaran dimulai pada Februari tahun anggaran berjalan, yaitu Dewan Iklim (Climate Council) memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Lalu, pada April Danish Energy Agency (DEA) menyerahkan "climate status" dan proyeksi iklim. Selanjutnya pada September pemerintah mengajukan program baru energi dan kemudian diproses berdasarkan UU Keuangan. Pada Desember barulah program dan anggaran itu dibahas di parlemen.

"Denmark adalah negara dengan pemerintahan yang kompromistis dan berupaya untuk merangkul berbagai masukan. Meski awalnya sulit untuk membuat rencana jangka panjang khusus untuk transisi energi, karena berdasarkan proyeksi tahun-tahun ke depan,  tapi dari proyeksi itulah kami mengkaji apa yang sudah kami capai saat ini. Lalu, kami menghitung sejauh mana perbedaan antara proyeksi dan pencapaian sekarang. Dari perhitungan itu muncul kebijakan-kebijakan untuk menutup 'gap' antara target dan capaian saat ini," jelas Zacharie.

Zacharie menyebut dalam pembahasan anggaran, pemerintah berpaya untuk mengikutsertakan berbagai pihak termasuk asosiasi industri, NGOs (non-governmental organizations), media maupun pakar independen dalam pembahasan.

"Tujuan kami satu yaitu kami bertanggung jawab kepada generasi mendatang yang akan mendiami bumi ini. Saya pikir setiap agama juga mewajibkan penganut agama tersebut untuk menjaga bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi manusia dan tentu itu hal itu menjadi bagian spiritualitas kami," ungkap Zacharie.

Progres Indonesia