Artikel - Audiens senyap dalam debat calon presiden
Debat calon presiden pun menjadi terlihat memuliakan masyarakat kebanyakan, yang ingin mendapatkan pandangan-pandangan utuh dari para calon pemimpin bangsanya...
Dalam konteks debat calon presiden, agresivitas penonton acap menular kepada individu calon, sampai objektivitas sang calon hilang sehingga debat menjadi semata pertarungan emosi, bukan pertarungan akal sehat.
Dalam keadaan ini, "korban" terbesar adalah pemilih-pemilih yang mengikuti debat dari layar-layar televisi di rumah atau tempat-tempat yang jauh dari venue debat.
Padahal, mereka jauh lebih banyak dan mungkin jauh lebih objektif, ketimbang yang berada di dalam studio atau venue debat yang di Indonesia biasanya dihadiri tim sukses yang pastinya partisan.
Pemilih kebanyakan menjadi korban karena tak mendapatkan pandangan yang utuh dari calon presiden yang seharusnya wajib mereka dapatkan dari debat.
Inilah yang mungkin menjadi alasan negara-negara seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Brasil, meminimalkan peran penonton di dalam studio pada debat calon presiden.
Mereka menomorsatukan masyarakat kebanyakan yang tak hadir langsung di tempat acara debat dan mencegah proses debat tercemari oleh emosi audiens di ajang atau venue debat.
Di negara-negara itu, audiens memang tetap ada, tapi dalam keadaan senyap, tak seperti dalam debat calon presiden di Indonesia dan Filipina, yang tak pernah sepi dari riuh rendah suara penonton.
Bahkan mereka menata suasana panggung debat yang mengaburkan kehadiran audiens debat.
Para penyelenggara debat di negara-negara itu, termasuk stasiun televisi, tak terpaku pada adagium bahwa debat juga showbiz, setidaknya tak dianggap sebagai showbiz biasa.
Dengan membuat audiens debat senyap, jutaan penonton yang jauh lebih banyak dari audiens di dalam studio bisa lebih jernih menyelami pesan, pandangan dan visi para calon presiden.
Demi pemilih kebanyakan
Dalam keadaan ini, "korban" terbesar adalah pemilih-pemilih yang mengikuti debat dari layar-layar televisi di rumah atau tempat-tempat yang jauh dari venue debat.
Padahal, mereka jauh lebih banyak dan mungkin jauh lebih objektif, ketimbang yang berada di dalam studio atau venue debat yang di Indonesia biasanya dihadiri tim sukses yang pastinya partisan.
Pemilih kebanyakan menjadi korban karena tak mendapatkan pandangan yang utuh dari calon presiden yang seharusnya wajib mereka dapatkan dari debat.
Inilah yang mungkin menjadi alasan negara-negara seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Brasil, meminimalkan peran penonton di dalam studio pada debat calon presiden.
Mereka menomorsatukan masyarakat kebanyakan yang tak hadir langsung di tempat acara debat dan mencegah proses debat tercemari oleh emosi audiens di ajang atau venue debat.
Di negara-negara itu, audiens memang tetap ada, tapi dalam keadaan senyap, tak seperti dalam debat calon presiden di Indonesia dan Filipina, yang tak pernah sepi dari riuh rendah suara penonton.
Bahkan mereka menata suasana panggung debat yang mengaburkan kehadiran audiens debat.
Para penyelenggara debat di negara-negara itu, termasuk stasiun televisi, tak terpaku pada adagium bahwa debat juga showbiz, setidaknya tak dianggap sebagai showbiz biasa.
Dengan membuat audiens debat senyap, jutaan penonton yang jauh lebih banyak dari audiens di dalam studio bisa lebih jernih menyelami pesan, pandangan dan visi para calon presiden.
Demi pemilih kebanyakan