Banda Aceh (ANTARA) - Nyaris dua dekade silam, gempa bumi berkekuatan magnitudo hingga 9,3 skala richter (SR) yang disusul gelombang tsunami setinggi hingga 30 meter melumpuhkan Aceh. Lebih dari 170 ribu orang meninggal dunia dan lebih dari 390 ribu orang mengungsi akibat bencana besar itu.
Pers nasional dan internasional tak henti menyiarkan kondisi Aceh. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengumumkan hari berkabung nasional selama tiga hari pascatsunami. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menyatakan tsunami Aceh sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar. Dunia berdukacita atas tragedi pada 26 Desember 2004 itu.
Meski telah lama berlalu, bekas luka dan sisa memori akibat bencana yang terjadi masih membekas bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Bundiyah, misalnya, warga Gampong Lampulo yang berusia 74 tahun itu masih ingat betul detik-detik bagaimana gulungan air laut yang ganas menyapu kampungnya di pesisir pantai.
Ketika gempa terjadi pada pagi hari, Bundiyah tengah menjajakan nasi lemak dan kolak di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo. Ia merasa perlu untuk pulang ke tempat tinggalnya yang berjarak 1,5 kilometer dari TPI usai goncangan gempa yang sangat kuat itu berhenti. Yang ia yakini, rumahnya hancur berantakan.
Pada saat itu, Bundiyah sempat kembali lagi ke TPI. Ia berniat untuk membagikan sisa nasi lemak dan kolak kepada tetangga di sekitar tempat tinggalnya. Situasi “tenang” yang sementara pascagempa—suatu sinyal yang sebetulnya menandakan tsunami akan tiba—tak benar-benar disadari masyarakat termasuk Bundiyah sendiri.
Para nelayan yang datang dari laut bersama kapalnya berteriak, “Air laut naik!” Gelombang tinggi tampak menggulung-gulung dari kejauhan. Bundiyah mengingat, tsunami yang datang begitu bergemuruh dan berwarna hitam.
"Di situ seperti kiamat. Orang tidak ada yang tahu tiba-tiba air laut naik, tahu-tahu di depan gelombangnya bermeter-meter. Di situlah orang-orang lari semua," kenang Bundiyah yang saat tsunami Aceh terjadi berusia 54 tahun.
Di antara kebingungan dan ketakutan yang mencekam, ia berlari dan memutuskan untuk masuk ke rumah tetangganya yang berlantai dua. Ketika berada di lantai atas, ketinggian air dengan cepat terus bertambah hingga mencapai leher orang dewasa.
Bundiyah bersama 58 orang yang terjebak di dalam rumah itu sempat berpikir tidak akan selamat. Namun, tiba-tiba sebuah kapal nelayan bergerak mendekat dan membentur rumah. Mereka pun dengan sigap menaiki kapal tersebut.
Kapal yang berukuran cukup besar itu sempat dikira datang untuk menjemput warga yang terjebak. Rupanya, kapal itu hanyalah kapal nelayan biasa yang hanyut dan tersangkut di samping rumah. Setelah tsunami menerjang, mereka berusaha untuk bertahan di dalam kapal hingga sore hari ketika air laut telah surut.
"Saya lihat kampungnya sudah habis, tak ada rumah lagi. Yang ada orang-orang (terjebak) di dalam seng-seng dan kayu-kayu, tangannya melambai-lambai meminta tolong," cerita Bundiyah, diiringi tatapan getir sekaligus teguh, sambil memutar waktu ke belakang.
Selanjutnya: Memori yang berdiri tegak
Memori yang berdiri tegak