Artikel - Menuju dua dekade tsunami, memori keteguhan Aceh tetap berdiri tegak

id 20 tahun Tsunami Aceh,Dua dekade tsunami Aceh,Museum Tsunami Aceh,Museum Kapal Lampulo Tsunami,Museum PLTD Apung,PON Ace,Artikel benca na Oleh Rizka Khaerunnisa

Artikel - Menuju dua dekade tsunami, memori keteguhan Aceh tetap berdiri tegak

Deretan nama-nama korban tsunami Aceh yang tertempel di sumur doa, Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, Minggu (8/9/2024). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)

Di situ seperti kiamat. Orang tidak ada yang tahu tiba-tiba air laut naik, tahu-tahu di depan gelombangnya bermeter-meter. Di situlah orang-orang lari semua...

Kelak, kapal yang tersangkut di atas rumah berlantai dua itu menjadi salah satu saksi bisu tsunami yang menarik banyak pengunjung dari luar Aceh. Dua dekade berlalu, kapal kayu sepanjang 25 meter dengan lebar 5,5 meter itu dikenal sebagai kapal di atas rumah yang menyelamatkan puluhan warga Gampong Lampulo.

"Karena itu, kami sebut kapal nyangkut di atas rumah, menyelamatkan 59 orang," tutur Nilam, warga Kampung Lampulo yang menjadi penjaga sekaligus pemandu bagi para pengunjung.

Berbeda dengan Bundiyah. Ketika tsunami terjadi, Nilam saat itu berada di tempat yang jauh dari Lampulo. Ia, yang saat itu berusia 8 tahun, selamat dari tsunami setelah berlari ke arah Bandara Sultan Iskandar Muda.

Perempuan Aceh itu bercerita, sebenarnya cukup banyak kapal yang terdampar ke daratan akibat terbawa arus tsunami. Namun, kapal-kapal tersebut telah dipindahkan. Sebagian besar di antaranya karena menghalangi jalan raya, sebagian lagi karena tidak cukup bersejarah dan fisik kapal yang tidak memungkinkan untuk tetap berdiri kokoh.

"Kalau kapal lain mungkin ada orang yang selamat, tapi memang nelayan. Tapi kalau ini, (kapal di Lampulo) ceritanya unik. Orang-orang naik ke kapal, dikiranya mau jemput mereka, rupanya kapal nyangkut," cerita Nilam.

Gelombang air yang sangat tinggi, warna air laut yang hitam, gemuruh air yang menggetarkan jiwa manusia, begitulah gambaran yang dialami korban ketika tsunami menerjang. Museum Tsunami Aceh, yang berdiri lima tahun pascaperistiwa, merekonstruksi ulang pengalaman-pengalaman itu yang bisa turut dirasakan masyarakat dari luar Aceh.

Ketika memasuki Museum Tsunami, pengunjung harus melewati lorong gelap dengan suara gelombang air laut yang bergemuruh dan tetesan air dari atas yang berjatuhan. Lamat-lamat, terdengar lantunan doa-doa berkumandang.

Tak selesai di situ, pengunjung dibawa memasuki sumur doa yang seluruh permukaan dindingnya dipenuhi nama-nama korban tsunami, baik yang ditemukan maupun yang tidak pernah ditemukan. Selayaknya berada di dalam dasar sumur, ruangan itu hanya ada sedikit penerangan. Jika mendongak ke atas, pengunjung akan menjumpai lafaz “Allah” yang pantulan cahayanya samar-samar menerangi dasar sumur.

Keluar dari sumur doa, pengunjung akan mengitari jalan setapak 360 derajat dengan permukaan jalan yang tidak rata. Seperti inilah gambaran yang dialami warga Aceh beberapa saat pascatsunami. Pusing, linglung, bingung, dan tiada henti melantunkan doa.

Ujung perjalanan melewati jalan setapak 360 derajat disambut kemegahan kolam air di kanan-kiri dan bentangan jembatan di atasnya dengan suasana yang cukup berbeda dibandingkan sebelumnya. Bendera-bendera negara yang pernah membantu Aceh untuk pulih dan bangkit tergantung di langit-langit museum.

Jika di lantai bawah pengunjung dibawa larut dalam pengalaman emosional, Museum Tsunami di lantai atas juga menghadirkan pengalaman-pengalaman visual salah satunya gelombang tsunami pada layar digital yang memenuhi permukaan dinding. Tak ketinggalan, gemuruh gelombang tetap mengiringi visualisasi tsunami itu.

Icha, pemandu Museum Tsunami, bercerita bahwa dirinya tidak sadar menjerit ketakutan saat pertama kali menatap visualisasi tsunami tersebut. Ketika duduk di hadapan layar besar itu, ombak besar yang bergulung-gulung seolah-olah menerjangnya.

Icha, yang juga penyintas tsunami, mengaku dirinya kerap merasakan kesedihan setiap kali berjalan melewati lorong gelap di lantai bawah dan melihat visualisasi gelombang atau ombak besar. Ia dan keluarganya selamat dari terjangan tsunami. Namun baginya, perasaan sedih ini tidaklah seberapa jika dibandingkan mereka yang kehilangan anggota keluarga akibat tsunami.

Selanjutnya: Bangkit dan terus merawat memori

Bangkit dan terus merawat memori