Jakarta (ANTARA) - Bisakah sebuah lipstik yang dibeli seseorang memprediksikan terjadinya resesi ekonomi? Jawabannya ada dalam teori "Indeks Lipstik" yang diperkenalkan oleh Leonard Lauder, Dewan Komisaris Estée Lauder, pada tahun 2001.
Lauder mengamati bahwa selama periode resesi, penjualan lipstik cenderung meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumen, terutama perempuan, beralih ke pembelian barang mewah kecil seperti lipstik sebagai bentuk pelarian atau "affordable luxury" ketika pembelian barang mewah yang lebih mahal tidak terjangkau.
Konsep ini didukung oleh data historis. Misalnya, setelah serangan 11 September 2001, penjualan lipstik meningkat signifikan, yang kemudian diikuti oleh resesi ekonomi.
Demikian pula, selama krisis keuangan 2008, meskipun banyak sektor mengalami penurunan, penjualan kosmetik tetap stabil atau bahkan meningkat.
Jika pola ini direlevansikan dengan kondisi di Indonesia, situasi yang menarik mulai terbentuk. Lipstik ibarat menjadi semacam pelipur lara ketika keadaan mendepresikan kehidupan.
Selama pandemi COVID-19 di Indonesia misalnya, ketika ekonomi melambat, kategori produk seperti kosmetik, perawatan kulit, makanan ringan premium, dan minuman kemasan premium justru mengalami lonjakan penjualan.
Maka selain lipstik indeks ketika itu muncul pula istilah indeks maskara karena penjualan produk kosmetik lain seperti riasan mata meningkat.
Sebagai contoh, PT Mustika Ratu Tbk (MRAT) mencatatkan peningkatan penjualan bersih sebesar 30 persen pada kuartal pertama 2021 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hal ini terjadi meskipun masyarakat menghadapi penurunan pendapatan, karena mereka mencari kepuasan kecil di tengah krisis.
Fenomena lipstick effect ini menjadi semakin relevan di Indonesia yang juga sedang menghadapi tantangan ekonomi global, seperti ketidakpastian geopolitik, tekanan inflasi bahkan sempat beberapa kali deflasi yang menurunkan daya beli, dan dampak perubahan iklim pada sektor pangan.
Meskipun tingkat daya beli masyarakat secara keseluruhan mungkin tertekan, pengeluaran pada kategori produk tertentu tetap menunjukkan daya tahan yang luar biasa.
Lipstick effect menjadi indikator bahwa meskipun masyarakat memangkas pengeluaran besar seperti kendaraan atau elektronik mahal, mereka tetap mencari cara untuk memanjakan diri melalui konsumsi kecil yang memberikan nilai emosional.
Fenomena ini juga dapat dijelaskan oleh demografi Indonesia. Dengan lebih dari 50 persen populasi berusia di bawah 30 tahun, generasi muda menjadi motor utama konsumsi domestik.
Mereka cenderung mengutamakan pengalaman dan kenyamanan dalam pengeluaran mereka. Pembelian kopi spesial seharga Rp50.000 atau sheet mask impor adalah contoh nyata bagaimana generasi muda Indonesia memprioritaskan barang kecil yang "memanjakan" dibandingkan investasi besar.
Ini sebenarnya menciptakan peluang bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) serta merek besar untuk mengembangkan produk yang berfokus pada konsumen muda dengan daya beli terbatas tetapi memiliki kebutuhan emosional tinggi.
Menjangkau kemewahan