Sumba Timur (ANTARA) - Di sudut desa itu, malam tak pernah benar-benar sepi. Saat waktu memasuki lekuk sunyi, ada kehidupan yang justru mulai tumbuh di balik satu bangunan. Pada satu dapur yang menjadi jantung sebuah ikhtiar yang diam-diam menghidupi anak setiap pagi.
Tepat pada tengah malam, saat sebagian besar rumah masih memeluk hening, api di tungku dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Waingapu 2, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, telah menari-nari. Asap mengepul dari wajan-wajan besar, bau rempah menyeruak ke seisi ruangan.
Saat itu, angin yang bertiup membawa massa udara dingin dari Australia, membuat pucuk pohon menggigil sunyi, namun kondisi itu tak menyurutkan 24 pasang tangan bekerja dalam irama yang nyaris puitis.
Ada yang menata beras, ada yang menyiram potongan sayur dengan air panas, dan ada yang menakar bumbu dengan naluri yang diasah oleh waktu bertahun-tahun memasak.
Waktu berjalan lambat, beberapa jam setelahnya, potongan daging telah masuk dalam penggorengan, nasi mengepul, dan aroma masakan menghipnotis setiap hidung yang mengirupnya.
Menjelang Matahari bersiap merangkak di balik gugusan pohon, barisan kotak makan siap dalam mobil distribusi. Dalam satu malam, ratusan porsi makanan bergizi siap dibawa ke sekolah-sekolah.
Setiap malam adalah awal yang baru. Hal yang berubah hanyalah isi ompreng, kadang telor, kadang ayam goreng, kadang sayur labu, terong, wortel.
Di balik perubahan isi ompreng itu, semangat di baliknya selalu sama, yakni menyediakan makanan yang layak bagi anak-anak yang kelak akan menjadi wajah masa depan daerah itu.
Pemberdayaan masyarakat
SPPG Waingapu 2 bukan hanya ruang menyingkirkan lapar, tapi menjadi jembatan ekonomi warga sekitar. Dari 47 pekerja, setengahnya adalah ibu-ibu yang sebelumnya hanya mengandalkan upah para suami. Ada juga calon dan mahasiswa yang mencari bekal belajar ke kota.
Yenike Hari (31) salah satunya. Bekerja di dapur SPPG memberikannya pengharapan lebih. Perempuan asli Sumba Timur itu memang memiliki kios kecil-kecilan yang hanya memenuhi bekal untuk satu hari saja. Apalagi ia menjadi salah satu tulang punggung bagi empat anggota keluarganya yang lain.
Dapur SPPG memberikannya penghasilan tambahan, meski tidak besar, namun cukup untuk memberikan keluarganya gizi seperti yang ia siapkan bagi anak-anak sekolah sejak dini hari.

Yanike mulai bekerja sejak pukul 10 siang, hingga maghrib menjelang. Ia bertugas di balik dapur, memastikan ompreng dan makanan terpotong bersih, tetapi tidak jarang pula ia masuk lebih larut sebagai petugas pengemasan makanan.
Sudah tiga bulan lamanya ia bergabung dengan tim, atau sejak dapur itu resmi didirikan. Kondisi perekonomiannya mulai tergerek perlahan demi perlahan.
"Puji Tuhan yang memberikan berkat pada saya. Dan saya senang juga bisa menyiapkan makanan bagi anak-anak penerus pulau ini selanjutnya," katanya dengan suara lirih, ketika berbincang dengan ANTARA.
Usai bergabung dengan SPPG, kini Yanike tidak hanya berjuang untuk hari ini saja, tapi dapat menabung untuk kehidupannya di masa depan kelak.
Beda dengan Yanike, Ndawa Lu (25), justru sering bekerja lebih malam. Pria yang tinggal menunggu wisuda S1 ini, sudah bersiap sejak pukul 23.00 WITA.
Ia bertugas untuk memastikan ketersediaan bahan olahan, pengemasan, hingga distribusi makanan yang akan disantap para siswa.
Ndawa Lu bercerita, membantu di dapur SPPG bukan hanya bekerja semata, melainkan ada harapan yang tumbuh bersamanya. Sebagai orang yang lahir dan besar di Sumba Timur, melihat anak-anak bisa berkembang dengan kecukupan gizi yang berimplikasi pada kecerdasan adalah impiannya.
Sumba Timur merupakan wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Persentase kemiskinan tercatat sebesar 27,04 persen atau setara 73.580 jiwa, di mana 8,02 persen (13.574 jiwa) termasuk kategori miskin ekstrem. Sementara itu, prevalensi stunting masih berada di angka 14,9 persen atau 3.303 balita.
Melihat realitas itu, sebagai pemuda asli, ia ingin adik-adiknya kelak bisa mengenyam pendidikan yang sama, bahkan lebih. Karena merekalah yang akan melanjutkan estafet kehidupan Sumba kelak.
Ekonomi berdampak
Dampak program makan bergizi gratis ini tidak hanya dirasakan oleh para pekerja di dapur SPPG. Secara otomatis, para pelaku UMKM juga merasakan kebahagiaan serupa.
Sayur-sayur yang biasa menunggu nasib, kini mulai terserap lebih cepat. Para pedagang sudah tahu kapan sayur mulai dikemas dan menunggu dijemput petugas SPPG.
Biasanya, sayur yang tidak laku terjual selalu berakhir di kandang ternak sebagai pakan. Ada pengepul yang setiap hari berkeliling mengumpulkan sayur setengah busuk. Tentu harga jual menjadi begitu rendah.
Tetapi, saat program MBG hadir, banyak sayuran yang tidak lagi menunggu takdir menjadi pakan ternak. Ia menjadi gizi dalam setiap santapan pagi.
"Semoga program ini terus berlanjut. Karena sangat membantu kami," ujar Fatimawati, pedagang sayur di Pasar Inpres Waingapu, berharap.
Begitu pula dengan telor. Ratusan kilogram diangkut per tiga hari untuk melengkapi lauk-pauk dari 3.412 ompreng yang didistribusikan ke-10 sekolah di sekitar wilayah Waingapu. Belum lagi ribuan potong ayam, jumlahnya jauh lebih besar.
Kepala SPPG Waingapu 2 Grestiana Bili bercerita pihaknya menggandeng UMKM dalam memenuhi setiap bahan olahan di dapur.
Saat di pasar, SPPG tidak hanya membeli bahan di satu lokasi. Beberapa pedagang harus merasakan dampak ekonomi yang sama.
Perempuan asal Sumba Barat Daya tersebut ingin MBG ini tidak hanya dirasakan oleh siswa, tapi menjadi berkat bagi masyarakat.
Harapan dilangitkan pula oleh Wakil Bupati Sumba Timur Yonathan Hani. Ia yakin sektor pertanian holtikultura di Sumba Timur akan lebih produktif jika ke depannya muncul lagi SPPG-SPPG yang baru.
Berdasarkan pengamatannya, banyak lahan pertanian di Sumba Timur yang tidak ditanami karena berbagai alasan. Seiring berjalannya waktu program MBG memberi harapan agar masyarakat dapat kembali mengayunkan cangkulnya.
Saat ini, baru ada dua SPPG yang telah berjalan di Sumba Timur. Ia membayangkan apabila ke depan ada puluhan SPPG yang melayani seluruh gizi anak-anak di Negeri Seribu Bukit tersebut, maka akan berlimpah pula bahan makanan serta terserapnya tenaga kerja.
Tentunya, hal tersebut akan berimplikasi pada peningkatan perekonomian masyarakat Sumba Timur.
Dengan demikian, diharapkan, semua sektor pertanian hortikultura itu bisa bergerak secara serentak, karena ada program MBG. MBG menjadi pendorong perekonomian masyarakat kecil di Kabupaten Sumba Timur.
Dapur SPPG tidak hanya memberi makan. Ia menyuapi harapan. Ia mengubah makanan menjadi jembatan antara kemiskinan dan masa depan.
Di balik setiap sendok nasi, tersembunyi kerja yang tidak kasatmata, yakni kerja yang melawan kantuk, melawan lelah dan dingin, demi sebuah pagi yang tidak kelaparan bagi anak-anak.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Nyanyi sunyi mengantar gizi dan harapan di Waingapu