Satu dekade kasus tumpahan minyak Montara

id Montara

Satu dekade kasus tumpahan minyak Montara

Satu dekade tumpahan minyak Montara di Laut Timor yang tak ada ujung penyelesaiannya. (ANTARA Foto/dok)

"Rabu, 21 Agustus 2019 akan menandai sepuluh tahun kasus tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009," kata Ferdi Tanoni.

Kupang (ANTARA) - Ribuan petani rumput laut di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, masih menunggu keadilan dari Pemerintah Federal Australia dan PTTEP Australasia setelah 10 tahun mengalami derita ekonomi, sosial dan kesehatan yang besar akibat petaka tumpahan minyak minyak di Laut Timor pada 21 Agustus 2009.

"Rabu, 21 Agustus 2019 akan menandai sepuluh tahun kasus tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009," kata Ketua Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni kepada wartawan di Kupang. Senin (19/8).

Namun, kata mantan agen Imigrasi Australia itu, hingga saat ini, peristiwa yang maha dahsyat itu nyaris tak pernah diurai oleh kedua pemerintahan (Indonesia-Australia) untuk memulihkan kembali derita yang dialami oleh masyarakat NTT.

Tumpahan minyak di wilayah perairan barat Australia dan terus menusuk ke wilayah perairan Indonesia di Laut Timor itu adalah akibat praktik industri minyak yang buruk dan kurangnya pengawasan dari peraturan Australia yang mengikuti ledakan di kepala sumur Montara, sekitar 250 km lepas pantai Australia Barat.

Minyak mentah memuntahkan ke Laut Timor yang murni selama lebih dari 70 hari berakhir dengan bola api besar di rig Montara. Minyak licin yang mencakup sekitar 300.000 km persegi melayang di atas perbatasan laut Australia dan Indonesia di mana arus minyak yang disertai dengan zat-zat berhaya lainnya ikut menghancurkan industri pertanian rumput laut yang berkembang pesat di Timor Barat.

Menurut hasil kajian Peduli Timor Barat pimpinan Ferdi Tanoni, masyarakat pesisir di Timor Barat belum pulih secara ekonomi dari kehancuran pertanian rumput laut yang sering mereka lukiskan dengan sebutan "emas hijau", termasuk para nelayan.

"Sudah sepuluh tahun kasus pencemaran Laut Timor ini terjadi, namun sampai sejauh ini nyaris tak ada upaya dari pemerintah Australia maupun Indonesia untuk menyelesaikannya untuk mengakhiri derita yang masih terus mendera masyarakat di wilayah pesisir kepulauan NTT," kata Tanoni.

“Petaka tumpahan minyak itu telah menghancurkan sebuah industri yang telah mengangkat orang keluar dari kemiskinan. Namun, sejak petaka itu datang melanda, satu generasi anak-anak di wilayah pesisir kepulauan NTT hilang karena tidak berpendidikan. Orang tua mereka tidak mampu lagi mengirim mereka ke sekolah," katanya menambahkan.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum dan HAM Cahyo R Muzhar (tengah) sedang memberikan keterangan pers terkait kasus anjungan minyak Montara yang meledak 9 tahun lalu, didamping Ferdi Tanoni (kiri). (ANTARA Foto/dok)
Berdiam diri
Tanoni mengatakan Pemerintah Australia terus duduk dan berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa untuk rakyat Timor Barat. "Gugatan Class Action atas nama lebih dari 15.000 petani rumput laut Timor saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Federal di Sydney dan kemungkinan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya," ujar Tanoni.

“Kami menyerukan kepada Pemerintah Australia untuk bertindak dan menyelesaikan masalah yang telah lama berjalan ini serta memerintahkan perusahaan yang berbasis di Thailand, PTTEP, untuk melakukan hal yang benar dan memberikan kompensasi kepada rakyat Timor Barat atas penderitaan mereka." ujarnya.

Pembuat film dokumenter "A Crude Injustice" asal Australia Barat Jane Hammond mengatakan bencana Montara diakui sebagai salah satu petaka lingkungan lepas pantai terbesar di Australia dan beberapa orang bahkan tahu tentang insiden tersebut.

"Tumpahan minyak Montara berdiri sebagai kisah peringatan terhadap kurangnya pengawasan peraturan di Australia, dampak jangka panjang dari polusi minyak dan kegagalan perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat atas kerusakan yang mereka timbulkan" kata Hammond.

Dia melakukan perjalanan ke Timor Barat pada tahun 2015 dan 2016 untuk memfilmkan A Crude Injustice dan tertegun melihat dampak tumpahan minyak ini. "Koresponden saya di wilayah tersebut mengatakan bahwa pertanian rumput laut masih belum pulih dan dampak ekonominya masih tetap ada."

"Selama petaka Montara, otoritas Australia menuangkan 184.000 liter bahan kimia pendispersi minyak ke dalam tumpahan minyak. Kita tahu dari penelitian di Teluk Meksiko bahwa dispersan ini dapat meningkatkan toksisitas minyak 52 kali. Kami sekarang melihat dampak kesehatan pada orang-orang di Timor Barat yang memiliki kontak dengan laut," ujarnya.*

Gumpalan minyak mentah di Laut Timor saat meledaknya anjungan minyak Montara, 21 Agustus 2009. (ANTARA Foto/dok)