Kupang (Antara NTT) - Kepala Dinas Pertanian Nusa Tenggara Timur Johanis Tay Ruba mengatakan produksi padi di provinsi berbasis kepulauan itu berkisar 670.000 ton per tahun dari areal lahan seluas 200 hektare lebih.
"Jumlah produksi itu terus didorong untuk ditingkatkan guna pemenuhan kebutuhan beras di masyarakat," katanya di Kupang, Selasa.
Dia menyampaikan jumlah produksi padi petani lokal sebanyak 670.000 ton per tahun itu jika dikalkulasi dengan kebutuhan beras masyarakat di seluruh provinsi selaksa nusa itu, maka bisa dipastikan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong sejumlah pertambahan lahan pertanian dengan pemanfaatn dan peningkatan infrastruktur berupa sistem irigasi yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan produktivitas pertanian.
Menurut dia, kebutuhan beras untuk masyarakat NTT mencapai 800.000 ton per tahun. Dari kalkulasi akumulatif itu, maka secara jumlah, daerah ini masih membutuhkan tambahan produksi padi hingga mencapai sekitar 100.000 ton.
Karena kekurangan itulah, maka pemerintah melalui Bulog memasoknya dari luar daerah ini. "Bulog beli dari Jawa, NTB dan Sulawesi. Pada 2016 Bulog datangkan 100.000 ton lebih, katanya.
Karena fokus memenuhi kebutuhan dalam daerah, permintaan Bulog sebesar 13.000 ton lebih, sulit dipenuhi, apalagi dengan harga beli Bulog yang hanya Rp7.300 per kilogram. Upaya untuk memenuhi kebutuhan beras di NTT, sudah dan secara berkesinambungan terus dilakukan.
Selain menambah luas lahan, dari sebelumnya 160.000 hektare menjadi 200.000 hektare, ada pula bantuan berupa alat pertanian, benih dan pupuk.
Dia menyebutkan sejumlah lokasi produksi beras di NTT, antara lain, paling banyak di Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Kupang, Sumba Barat Daya, Ende, Ngada dan kabupaten Manggarai Raya. Untuk di Kabupaten Rote Ndao dan Manggarai Barat bahkan telah terjadi surplus beras.
Dari sejumlah daerah pemasok itulah, lalu disalurkan ke Bulog sebagai permintaannya, untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan. "Selebihnya dipasok dari sejumlah daerah di luar NTT," katanya.
Terkait produksi beras yang belum bisa memenuhi kebutuhan dalam daerah meski luas lahan mencapai 200 ribu hektare itu, Anis mengatakan ada sejumlah penghambat.
Sejumlah hambatan itu, sebut dia, antara lain, soal kondisi alam, berupa hama, masalah pemenuhan air dan sejumlah infrastruktur pendukung. "Semuanya itu menentukan kualitas dan kuantitas produksi beras," katanya.
Menurut dia, secara jadwal biasanya semua lahan digarap pada tahap pertama di musim hujan. dengan demikian, jadwal panen akan berada di April, Mei dan Juni.
"Untuk jadwal ini akan hasilkan beras berkualitas. Tetapi kalau sudah masuk tahap dua, maka akan sedikit lahan saja yang bisa terpakai, berkisar kurang dari 50 persen lahan. Ya karena kurang air," katanya.
Para petani di musim ini, diarahkan tetap menanam dengan mengganti jenis tanaman seperti cabai, bawang dan juga sayuran lainnya.
Kondisi pasokan air, memang menjadi hal paling berat bagi para petani di NTT. Karena itulah pemerintah telah memberi perhatian dengan membangun sejumlah bendungan di daerah ini.
Dengan bendungan itu, maka akan dimanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan air bagi areal sawah pertanian warga, apalagi di masa tanam tahap dua, di tengah krisis air seperti di musim ini.
"Dengan kehadiran beberapa bendungan di beberapa kabupaten akan sangat membantu peningkatan produktivitas hasil pertanian warga," kata Johanis Tay Ruba.
Produksi Padi Mencapai 670.000 Ton
Produksi padi di provinsi berbasis kepulauan itu berkisar 670.000 ton per tahun dari areal lahan seluas 200 hektare lebih.