Kupang (AntaraNews NTT) - Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) VII Kupang, Nusa Tenggara Timur mengklaim bahwa institusi tersebut mempunyai tugas dan wewenang dalam mengecek dokumen kapal nelayan saat menggelar operasi laut.
"Pada intinya TNI AL khususnya Lantamal VII Kupang mempunyai kewenangan untuk mengecek dokumen-dokumen kapal nelayan yang beroperasi di wilayah perairan NTT," kata Kapala Dinas Hukum Lantamal VII Kupang Letkol Laut (KH) Sunariyadi kepada Antara di Kupang, Senin.
Hal ini disampaikannya berkaitan dengan masih banyaknya nelayan di daerah ini yang belum memiliki dokumen kapal saat berlayar sehingga mengakibatkan banyak nelayan yang ditangkap saat melaut.
Disamping Lantamal Kupang, pihak Satuan Polisi Air Polda NTT juga melakukan hal yang sama, sehingga kemudian berujung pada kebingungan masyarakat soal siapakah yang berwenang dalam hal penangkapan nelayan di laut.
Menurut Sunariyadi peraturan soal wewenang TNI AL dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal nelayan itu tercantum dalam UUD Perikanan Pasal 73 tahun 2004 serta undang-undang pelayaran pasal 282.
"Pada dasarnya kami sudah diberikan kewenangan sebagai penyidik dalam hal berkaitan dengan aturan yang berlaku dalam pelayaran bagi nelayan-nelayan yang sedang melaut," ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tidak hanya TNI AL saja yang mempunyai wewenang dalam hal pemeriksaan dokumen-dokumen kapal nelayan, tetapi juga Polair Polda NTT, serta PSDKP.
"Semua otoritas keamanan laut tampaknya memiliki wewenang yang sama, sebagaimana diisyaratkan dalam UU kelautan dan perikanan," katanya menambahkan.
Sementara itu, Direktur Kepolisian Perairan Polda NTT Kombes Pol Dwi Suseno juga mengakui bahwa pihaknya juga diberi otoritas yang sama dalam melakukan pemeriksaan dokumen kapal nelayan.
"Namun, dalam kenyataan di lapangan ada semacam tumpang tindih (over laping) dalam hal pemeriksaan dokumen kapal nelayan tersebut, sehingga tidak terlalu mengherankan jika masih ada nelayan yang mempertanyakan hal itu," katanya.
"Memang seperti itulah yg terjadi. Tapi laporan dari kapal-kapal patroli kami di lapangan rata-rata nelayan-nelayan kita memiliki surat-surat lengkap," tambahnya.
Untuk tahun 2018 ini, kata Kombes Suseno, baru terjadi satu kasus di Flores Timur, dimana tiga orang nelayan asal Desa Lamahala di Pulau Adonara itu ketahuan tidak memiliki dokumen kapal saat melaut.
Ia mengaku bahwa walaupun memiliki tugas dan fungsi yang sama dalam hal pemeriksaan dokumen kapal nelayan, namun yang membedakannya adalah jarak jelajah dalam operasi tersebut.
"Kalau TNI-AL mempunyai wilayah pengamanan sampai di atas 12 mil, sedang PolAir hanya berwenang di bawah tiga mil sesuai dengan fasilitas operasi yang digunakan," katanya.
Sementara itu, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nusa Tenggara Timur Abdul Wahab Sidin lebih menekankan pada pentingnya unsur pembinaan serta sosialisasi dari unsur keamanan laut.
"Jika ditemukan masih ada nelayan yang belum mengantongi izin usaha penangkapan ikan (SIPI) saat melaut, misalnya, sebaiknya aparat keamanan laut langsung memberikan pembinaan kepada nelayan bersangkutan," katanya.
Pembinaan tersebut, tambahnya, bisa juga dalam bentuk teguran atau nasihat kepada nelayan tentang pentingnya memiliki SIPI saat melaut, karena hampir 99 persen nelayan di daerah ini tidak memiliki dokumen SIPI.
"Ini yang kami harapkan agar aparat keamanan laut lebih lunak dalam menjalankan tugas pengamanan di wilayah perairan NTT, khususnya dalam menghadapi nelayan lokal kita di daerah ini," ujar Wahab.
Ia juga mengharapkan agar aparat keamanan laut lebih mengarahkan perhatiannya kepada kapal-kapal nelayan dari luar NTT yang beroperasi di wilayah perairan NTT dengan menggunakan kapal porse seine besar, cantrang dan rumpon.
"Alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti ini yang harus menjadi prioritas aparat keamanan laut, ketimbang menyasar nelayan kita hanya karena tidak memiliki dokumen kapal," katanya menegaskan.