Pilkada 2018 - Pemerintah penyebab utama masalah DPS

id John

Pilkada 2018 - Pemerintah penyebab utama masalah DPS

Pengamat hukum tata negara Dr John Tuba Helan

"Sumber masalahnya adalah ketidakmampuan pemerintah daerah dalam melakukan pembenahan terhadap adminsitrasi kependudukan," kata Johanes Tuba Helan.
Kupang (AntaraNews NTT) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr. Johanes Tuba Helan mengatakan, pemerintah merupakan penyebab utama masalah daftar pemilih (DPS), yang muncul pada setiap pelaksanaan pemilu pada setiap tingkatan.

"Sumber masalahnya adalah ketidakmampuan pemerintah daerah dalam melakukan pembenahan terhadap adminsitrasi kependudukan," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Kamis (5/4).

Dia mengemukakan hal itu, terkait masalah daftar pemilih sementara yang masih saja terjadi dan merupakan penyakit akut yang terjadi pada setiap pelaksanaan pemilu pada setiap tingkatan, dan cara kerja para petugas pemutakhiran data saat melakukan pencocokan daftar pemilih sehingga terkesan hanya menghamburkan biaya.

Bawaslu NTT masih menemukan kekeliruan dalam DPS seperti pemilih yang sudah meninggal atau pindah status, tetapi masih masuk dalam daftar pemilih sementara (DPS) untuk pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTT tahun 2018.

Menurut dia, jika saja pemerintah daerah bisa melakukan pembenahan administrasi kependudukan secara baik dan benar, maka persoalan DPS tidak perlu terjadi lagi.

Baca juga: Pilkada 2018 - DPS masih banyak bermasalah
. Ketua KPU NTT Maryanti Luturmas Adoe (tengah) sedang memimpin pleno penetapan daftar pemilih sementara (DPS) untuk Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 di Kupang, Sabtu (17/3). (ANTARA Foto/Bernadus Tokan) 
Misalnya, orang yang sudah meninggal dunia atau pindah alamat semestinya tidak perlu lagi ada dalam data kependudukan, kata mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTT-NTB ini.

Artinya, pemerintah daerah harus membenahi administrasi kependudukan sehingga nama orang yang sudah meninggal dunia tidak lagi tercantum dalam data kependudukan, begitupun orang yang sudah pindah daerah, katanya menjelaskan.

Mengenai coklit, dia mengatakan, adanya perbedaan data pemilih pada saat petugas melakukan pencocokan data pemilih (coklit) karena para petugas hanya berdasarkan pada dokumen kependudukan.

Seharusnya, para petugas yang dikirim oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja berdasarkan data dan fakta di lapangan dan tidak berdasarkan pada data kependudukan yang tidak valid. "Jadi memang sistem mutasi data kita tidak bagus karena orang lahir, mati, pindah tidak lapor secara rutin," katanya.

Hak konstitusional
Atas dasar itu, ia berpendapat masalah e-KTP tidak boleh menghilangkan hak warga dalam pemilihan kepala daerah-wakil kepala daerah. "Memilih itu hak konstitusional warga yang tidak boleh dikesampingkan hanya karena masalah administrasi kependudukan," katanya menegaskan.

Tuba Helan mengatakan seharusnya penggunaan hak politik dalam sebuah pesta demokrasi adalah hak konstitusional warga yang tidak boleh dikesampingkan hanya karena alasan administrasi.

Warga, kata dia, yang sudah memenuhi syarat untuk memilih harusnya diberikan ruang untuk menggunakan hak suara untuk memilih pemimpin yang dikehendaki dengan persyaratan yang lebih sederhana. "KPU perlu mempertimbangkan kembali persyaratan yang sudah ditetapkan itu agar warga tidak kehilangan hak suara," ujarnya.

Baca juga: Pilkada 2018 - Penduduk tanpa e-KTP wajib memilih
. Petugas sedang melakukan perekaman data e-KTP bagi 178.000 warga di Kabupaten Kupang, NTT (ANTARA Foto/dok) 

Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Maryanti Luturmas Adoe menegaskan, warga yang belum melakukan perekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik tidak bisa menggunakan hal pilih pada Pilgub 27 Juni 2018 mendatang.

"Sesuai dengan peraturan KPU, setiap orang yang akan memberikan hak suara harus membawa serta KTP elektronik atau surat keterangan dari dinas kependudukan dan catatan sipil," kata Maryanti Adoe.

Menurut dia, satu satunya solusi adalah wajib KTP harus melakukan perekaman sehingga paling tidak mendapat surat keterangan (suket) dari dinas kependudukan dan catatan sipil.

"Kalau sudah melakukan perekaman tetapi belum bisa mendapat KTP elektronik, maka akan diberikan surat keterangan. Surat keterangan inilah yang bisa digunakan untuk memilih," katanya.