Mengais rezeki dari kain tenun Belu

id Tenun

Mengais rezeki dari kain tenun Belu

Sejumlah penenun dari desa Paturika, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu, NTT sedang menenun bersama di salah satu rumah adat di desa tersebut. (ANTARA Foto/Anita Permata Dewi)

"Kalau cuma duduk (diam) saja, kami tidak dapat uang. Dengan menenun, kami bisa dapat uang. Setelah menenun, saya bisa bantu suami berkebun," Yusti Namriahoar.

Atambua, NTT (AntaraNews NTT ) - Sebanyak tiga puluh orang mama atau perempuan berkeluarga tampak menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan membuat kain tenun ikat di sebuah rumah adat di Desa Paturika, Kecamatan Raimanuk, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Perjalanan menuju lokasi dari pusat kota yakni Atambua sejauh 30 kilometer membutuhkan waktu selama 1,5 jam. Selama perjalanan, kita akan disuguhkan pemandangan berupa padang ilalang di sepanjang jalan.

Perjalanan menuju Desa Paturika tidak mudah karena harus melewati medan yang berat. Desa tersebut terletak di Bukit Mandeu yang jalur menuju lokasinya terjal dan berbatu-batu.

Dibutuhkan kendaraan dengan tenaga yang besar untuk bisa sampai di Desa Paturika, tempat para mama berkumpul untuk menenun. Mereka menenun bersama hampir setiap hari dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 16.00 sore, kecuali hari Minggu.

Dari beberapa desa yang terletak di Gunung Mandeu, hanya mama-mama dari Desa Paturika yang menenun secara bersama-sama. Mama-mama di desa-desa lain selain Paturika, biasanya menenun sendiri di rumahnya masing-masing.

Menurut mereka, menenun adalah kehidupan, untuk mengais rejeki sekaligus upaya melestarikan budaya adat setempat. Mereka pun menurunkan kemampuan menenun mereka kepada anak-anak mereka.

Baca juga: Tenun ikat NTT sulit bersaing

"Semua mama di sini ajari anak-anak menenun. Kalau mereka (anak-anak) tidak diajari, nanti kami mati, siapa yang bisa meneruskan menenun," kata Yusti Namriahoar, salah seorang perajin kain tenun.

Usai lulus sekolah dasar, Yusti tidak meneruskan sekolah dan mulai belajar menenun. Tidak terasa di usianya kini yang menginjak 39 tahun, Yusti telah menggeluti kegiatan menenun selama hampir tiga puluh tahun.

"Kalau cuma duduk (diam) saja, kami tidak dapat uang. Dengan menenun, kami bisa dapat uang. Setelah menenun, saya bisa bantu suami berkebun," katanya.

Yusti tak sendiri. Ada 29 orang mama di desanya yang mayoritas tak meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, memutuskan untuk menjadi perajin kain tenun.

Proses penenunan kain-kain tenun itu membutuhkan waktu mulai dari empat hari hingga paling lama dua bulan.

Kain-kain tenun yang sudah jadi selanjutnya dibawa oleh ketua kelompok tenun Paturika ke Pasar Halilulik, Atambua untuk dijual. Sementara harga kain tenun termurah adalah Rp250 ribu dan termahal dapat mencapai kisaran Rp2,5 juta.

Uang hasil menenun digunakan para mama untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah bagi anak-anaknya.

Baca juga: Perajin tenun ikat berpenghasilan Rp50 juta sebulan

Pewarna Alami
Adalah istri Bupati Belu, Lidwina Viviawaty berupaya membuat kain tenun Belu untuk kembali menggunakan pewarna alami.

Perempuan yang akrab dipanggil Vivi ini merupakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Belu yang sering memberikan pelatihan kepada para mama di daerahnya untuk terampil dalam menggunakan pewarna alami.

Peserta pelatihan adalah para mama yang merupakan anggota sejumlah kelompok penenun di 69 desa yang terdapat di 12 kecamatan termasuk Kecamatan Raimanuk.

Vivi berujar bahwa proses pengolahan bahan pewarna alami sampai dapat mengeluarkan warna yang diinginkan berbeda-beda tergantung bahan yang digunakan.

Pewarna alami yang digunakannya antara lain daun jati, batang mahoni, indigo vera, suji, kunyit, akar mengkudu dan daun pucuk jati.

"Dalam tiga hari training itu, para peserta belajar memetik daun-daun pewarna alam. Mengetahui perlakuan apa yang tepat terhadap pewarna alam sehingga warna yang dihasilkan maksimal. Ada yang dimasak, ada yang tanpa dimasak, cuma direndam saja. Ada yang harus difermentasi," kata Vivi.

Baca juga: Mengais rezeki dari tenun ikat Sumba

Pemberian pelatihan ini penting karena mayoritas kelompok tenun masih menggunakan pewarna kimia dengan alasan mudah untuk didapatkan, murah dan cepat proses pewarnaannya.

Sementara adanya kekhawatiran tentang kualitas kain tenun berpewarna alami, Vivi pun memastikan bahwa kain tersebut tidak akan mudah pudar warnanya karena dalam proses pengerjaannya, kain tenun akan melewati proses fiksasi terlebih dulu.

"Fiksasi itu untuk mengunci warna sehingga tahan lama," katanya. Perawatan yang harus dilakukan pengguna kain tenun pun cukup mudah, bila hendak dicuci, kain harus dicuci dengan menggunakan sampo atau bisa dengan metode cuci kering.

Mempopulerkan Tenun Belu
Dibawah asuhan Vivi, kain tenun Belu akan dipromosikan di luar negeri pada acara Pameran Indonesia Moscow, di Moscow, Rusia pada 2-5 Agustus 2018.

Pihaknya pun melakukan persiapan dengan maksimal untuk menampilkan berbagai jenis kerajinan kain tenun Belu dalam acara tersebut.

"Kami dapat booth gratis. Tentunya kami akan mempersiapkan. Kami akan bawa kain tenun, anyaman, tas, selendang, selimut dan pakaian jadi. Supaya tahu bahwa tenun Belu, selain bisa jadi selimut dan syal, tenun kami itu bisa jadi fesyen ," katanya.

Melalui ajang tersebut, pihaknya berharap kain tenun Belu bisa dikenal masyarakat di luar negeri.

Baca juga: Tenun Ikat Membuat Sumba Memikat