Mengais Rejeki dari Tenun Ikat Sumba

id tenun ikat

Mengais Rejeki dari Tenun Ikat Sumba

Festival Tenun Ikat 2017 di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Foto ANTARA/Kornelis Kaha)

Kain Tenun Ikat Sumba tidak hanya sekedar indah jika dipandang, tapi kain tenun Sumba juga mempunyai makna yang mendalam bagi masyarakat di seluruh daratan Pulau Sumba.
Kupang (Antara NTT) - Kain Tenun Ikat Sumba tidak hanya sekedar indah jika dipandang, tapi kain tenun Sumba juga mempunyai makna yang mendalam bagi masyarakat di seluruh daratan Pulau Sumba.

Tak heran jika kain tenun Sumba sering digunakan oleh masyarakat di Sumba dalam berbagai kegiatan, tidak hanya saat ritual adat tetapi juga saat bepergian ke daerah-daerah di pulau tersebut.

Dalam berbagai kegiatan, kain tenun ikat yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya di Pulau Sumba khususnya kaum pria selalu dipadukan dengan dengan sebuah parang atau bahasa Sumba Katopo.

Dalam bahasa Sumba khususnya kawasan Weweja, kain tenun yang diikatkan di pinggang kaum pria dikenal dengan sebutan Kalabo, sedangkan untuk kain tenun yang diikatkan di kepala disebut dengan Kapauta.

Sementara itu,sebilah parang yang sering dipadukan dengan dua kain tenun itu saat sudah digunakan di pinggang dikenal dengan sebutan billuna katop, sementara untuk kaum perempuan yang memakai kain tenun ikat dikenal dengan sebutan Pawee.

Christina seorang perajin tenun asal Kodi Utara mengatakan, ada dua jenis tenun di Sumba, yakin tenun ikat dari  Lamba Leko. Kedua jenis tenun ini berbeda yang satu tenun ikat dan yang satu lagi adalah tenunan biasa.

"Untuk tenun Lamba Leko diproses dengan bahan-bahan sintetis dari pabrik, sehingga harganya juga tidak semahal kain tenun Ikat," ujarnya.

Sementara untuk tenun ikat,diperoleh dengan cara mengikatnya kemudian bahan pewarna alami serta benangnya dari kaps hutan yang dipintal menjadi benang.

Pagi itu seperti biasa, usai mengurus berbagai kebutuhan anak-anaknya ke sekolah dan telah membereskan urusan rumah tangganya, Christina mulai mempersiapkan peralatan-peralatan yang digunakan untuk menenun.

Kain tenun yang sedang ditenunnya adalah kain tenun jenis Lamboya, sesuai dengan pesanan orang. Setengah bagian telah ditenunnya.

Pada kain tenun tersebut, terdapat berbagai corak khas seperti gambar kuda, rumah adat, buaya, ayam, serta corak lainnya yang menandakan kain tenun ikat itu adalah khas tenunan Sumba.

Christina mulai menenun sejak tahun 1998 saat anaknya hendak memasuki bangku sekolah. Saat itu, suaminya hanya sebagai seorang petani, tentu baginya sangat sulit untuk mendapatkan uang agar bisa mendaftarkan anaknya agar bisa mulai memasuki bangku sekolah.

Ia pun mulai belajar menenun dari tetangganya yang memang mahir dalam menenun. Perlahan-lahan selama kurang lebih tiga bulan, ia belajar dan berhasil menghasilkan sebuah kain tenun.

"Saat itu untuk membeli benang pun kita kesulitan. Akhirnya saya putuskan mencari benang alam dan menanamnya di halaman rumah sehingga mudah mendapatkannya tanpa harus ke hutan," tuturnya.

Tenun ikat pertama yang ia jual yakni pada tahun 2000, saat itu harganya ia pasarkan dengan harga Rp70.000-Rp80.000 karena memang belum terlalu dikenal tenun ikat Sumba.

Perlahan-lahan kain yang ditenunnya mulai banyak diminati oleh sejumlah warga masyarakat di desa tempat ia tinggal. Dalam sebulan, ia mampu menerima pesanan dari sejumlah warga yang nantinya digunakan untuk mahar kawin bagi anak-anak mereka yang akan menikah, atau juga saat adanya kematian di kampung.

"Dalam seminggu saya bisa habiskan tiga dua kain tenun Lamba Leko, tetapi kalau untuk tenun ikat perlu waktu berbulan-bulan kurang lebih lima sampai enam bulan karena tergantung dari pewarnanya," tuturnya.

Iap un mulai menjualnya dengan harga Rp200.000 per kain untuk tenun Lamba Leko, sedangkan untuk Tenun ikat dijual dengan harga Rp500.000 hingga jutaan rupiah tergantung dengan motifnya.

Dari hasil penjualannya tersebut hingga saat ini ia mampu menghasilkan Rp2,5 juta hingga Rp3 juta dalam sebulan belum lagi saat ia jual di pasar.

"Sampai hari ini saya masih tetap menenun, dan bersyukur anak saya yang pertama bisa selesaikan kuliahnya dan sudah bekerja. Apalagi dengan bantuan suami, kehidupan kami bisa lebih baik saat ini setelah menjadi penenun," tuturnya.

Berbeda dengan Katarina, perajin tenun dari Desa Tematana, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat mengaku, baru mulai berlatih menenun.

Kebutuhan ekonomi
Hal ini karena ia melihat banyak warga di sekitar desanya yang sangat terbantu dengan menenun kain tenun kemudian menjualnya di pasar kemudian bisa menghasilkan banyak rezeki dari hasil jual tersebut untuk kebutuhan ekonomi.

"Semoga belum terlambat saya menenun. Saya baru tiga bulan belajar menenun, bersyukur sudah ada tiga kain yang sudah saya hasilkan," ujar wanita separoh baya itu.

Pada tahun 2000, ia sempat menenun, namun karena saat itu usaha tenun ikat belum terlalu laku dan banyak orang belum tertarik maka ia pun berhenti. Saat berhenti ia hanya membantu suaminya di kebun untuk mengolah lahan pertanian.

Kerajinan tenunnya pun ia tinggalkan sehingga perlahan-lahan ia mulai lupa akan menenun. Pada tahun 2011, pemerintah Sumba Barat mulai mengkampanyekan tenun ikat dan membentuk kelompok-kelompok tenun dari setiap desa. Namun ia pun merasa belum tertarik.

Baru pada 2017 saat Dekranasda Sumba Barat kembali membuka pelatihanan tenun ikat, baru iap un mencoba untuk ikut karena ia merasa bahwa pemerintah mulai memperhatikan tenun ikat Sumba.

Ia pun berharap kelak tenun ikat Sumba disahkan hak ciptanya sehingga tidak ditiru atau di copy paste oleh daerah luar yang kemudian mengklaimnya sebagai tenun ikatnya.

Dikerjakan kaum pria
Sumba memang dikenal karena tenun ikatnya yang memiliki nilai jual yang tinggi karena produk tenun ikatnya menggunakan alat pewarna dan bahn-bahan yang diperoleh dari tengah hutan dan sulit didapatkan.

Perwarna alami inilah yang menjadi alasan mengapa sehingga tenun ikat Sumba sangat mahal harganya tidak hanya di pasar nasional tetapi juga internasional.

Hal ini kemudian mengakibatkan kaum pria pun mengerjakan tenun ikat yang pada awalnya hanya dikerjakan oleh kaum perempuan di Sumba.

Kain tenun Sumba tidak hanya menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat setempat tetapi saat ini juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat di daerah tersebut.

Perajin tenun ikat asal Sumba Timur, sekaligus istri dari Raja Prailiau Sumba Timur Umbu Djaka, Tamu Rambu Margaretha mengatakan, kaum pria ikut terjun dalam proses tersebut karena lahan pertanian terkadang hasilnnya hanya boleh dicapai dalam waktu empat bulan.

"Hal ini yang mengakibatkan banyaknya kaum pria ikut ambil bagian. Namun yang dilakukan hanya di rumah saja, tanpa ditunjukkan ke khalayak ramai," tuturnya.

Namun sayangnya dengan semakin berkembangnya zaman, saat ini tidak banyak anak muda Sumba yang tertarik untuk belajar membuat kain tenun. Hal ini karena lamanya waktu pembuatan yang dapat mengganggu tuntutan mereka sebagai anak sekolah.

Festival Tenun Ikat yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah menurut dia membantu para penenun untuk lebih rajin menenun dan menghasilkan corak-corak yang lebih bervariasi sehingga dapat memberikan keuntungan.

Tak hanya itu, festival yang telah digelar dan juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo juga akan mengangkat naman tenun ikat seluruh darat Sumba sehingga semakin dikenal di dunia.

"Tidak hanya itu, kita juga berharap agar banyak masyarakat khususnya generasi penerus di Sumba juga semakin rajin membuat tenun ikat, yang bahan-bahannya alami," tuturnya.

Ketua Dekranasda Sumba Barat Daya Ratu Wula juga mendukung hal tersebut. Menuru dia, saat ini banyak generasi muda yang sudah melupakan adat dan budaya Sumba.

Oleh karena itu dengan adanya festival tersebut diharapkan semakin membuat generasi muda yang berminat dan mau belajar menenun.

Makna Tenun Sumba
Kain tenun ikat Sumba mempunyai corak-corak yang menarik untuk dilihat. Namun dari keindahannya tersebut terdapat arti tersembunyi. Contohnya untuk kain tenun ikat bercorak mamoli disimbolkan sebagai perempuan Sumba. Artinya bahwa kaum lelaki Sumba sangat menghargai seorang perempuan.

Kemudian rumah adat. Rumah adat menjadi simbol harga diri bagi orang sumba, sehingga tidak heran jika ada corak rumah adat di sebuah kain tenun. Adanya juga mata karamboyo (mata kerbau) sebagai simbol kesuksesan orang Sumba.

"Ada juga simbol lekota, yang artinya bahwa orang Sumba tidak pernah kehabisan akal dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari," tutur Ratu Wula.

Bagi orang Sumba sendiri, memiliki dan mengenakan kain serta sarung dari tenun ikat adalah busana penting dan juga marupakan suatu keharusan yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, upacara kematian serta saat ibadah.