Kupang (ANTARA) - Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Nusa Tenggara Timur Marianus Mau Kuru mengatakan ada tiga kerangka pendekatan yang digunakan untuk percepatan penurunan stunting di provinsi itu.
"Tiga pendekatan itu adalah intervensi gizi terintegrasi, pendekatan multisektor dan multipihak serta pendekatan berbasis keluarga berisiko," katanya kepada wartawan di Kupang, Selasa, (7/6/2022).
Hal ini disampaikan berkaitan dengan penanganan stunting atau kekerdilan di Nusa Tenggara Timur khusus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang masuk dalam daftar merah soal stunting.
Marianus juga menjelaskan, saat ini stunting di NTT per Agustus 2021 berada pada angka 20,9 persen, dan keluarga berpotensi risiko stunting sebanyak 603.893 KK.
Untuk menurunkan angka stunting di NTT itu, menurutnya, perlu ada kerja sama dengan semua pihak, termasuk keterlibatan lembaga keagamaan.
Lembaga keagamaan, menurut Marianus, memiliki beberapa peran penting seperti berperan dalam screning kesehatan (elsimil) dan edukasi perencanaan berkeluarga kepada peserta kursus pernikahan.
Disamping itu juga perlu ada sinergitas dengan tokoh masyarakat untuk mengkaji tradisi konsumtif seperti belis maupun acara kematian, memfasilitasi edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja di komunitas agama, dan kampanye pemanfaatan pangan lokal bergizi tinggi.
"Perlu kerja sama semua pihak untuk penanganan stunting di NTT ini. Tidak bisa hanya pemerintah saja," ujar dia.
Marianus menjelaskan, Presiden Jokowi menargetkan angka penurunan stunting secara nasional pada tahun 2024 sebesar 14 persen. Sedangkan Untuk wilayah NTT Gubernur NTT Viktor B Laiskodat telah menetapkan target provinsi dalam penurunan angka stunting pada tahun 2023 sebesar 12 persen.
Baca juga: Desa Paubekor tekan angka stunting hingga nol kasus
Baca juga: Desa Liang Sola gunakan dana desa tangani stunting
Tentunya target tersebut tinggal 18 atau 15 bulan lagi, sebelum masa akhir jabatan gubernur NTT berakhir.
"Waktu sangat pendek harus turunkan 10 persen dalam 15 bulan. Untuk itu perlu gerakan bersama masyarakat dan seluruh komponen secara konvergen atau kolaboratif,” ajak Marianus.