Lebaran digital, wajah baru dalam berhari raya

id lebaran,idul fitri 1444 h,teknologi digital,widodo muktiyo Oleh Prof. Dr. Widodo Muktiyo

Lebaran digital, wajah baru dalam berhari raya

Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN Antara Prof Dr Widodo Muktiyo menyampaikan sambutan pada Pembukaan Rakernas Antara 2023 di Yogyakarta, Rabu (8/3/2023). (Foto Antara/Budi Setiawanto)

...Manusia harus terus-menerus memperbaiki dan berpikir ulang mengenai tujuan sosialnya, demikian saran dari futurolog Alvin Toffler (1970) sebagaimana dicatat oleh Anthony G. Wilhelm dalam Democracy in the Digital Age: Challenges to Political Life i

Fenomena merebaknya Lebaran ala digital ini tentunya tidak lepas dari ekses plus dan minus-nya. Secara positif, penggunaan beragam teknologi komunikasi digital yang pasti secara faktual banyak mempermudah masyarakat dalam berbagai aktivitas termasuk saat momen Lebaran.

Orang bisa langsung mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kullu ‘aamin wa antum bi khair”, melalui share di WhatsApp (WA), video call atau platform media sosial.

Tanpa harus bertemu muka secara langsung terutama karena faktor jarak atau sebab kondisi lain, teknologi komunikasi digital dapat membantu kita untuk bisa saling bermaaf-maafan secara langsung via daring.

Demikian halnya dengan urusan tiket mudik, transaksi dana berlebaran, belanja berhari raya dan berbagai pernak-pernik aktivitas di momen Lebaran lain telah banyak dimudahkan, diefisiensikan dan diakselerasikan mekanisme prosesnya melalui penggunaan teknologi komunikasi digital, bahkan cukup melalui smartphone.

Kehadiran teknologi komunikasi digital memang telah melampaui sekaligus mengatasi ruang dan waktu guna mempermudah manusia dalam beragam aktivitasnya. Menggunakan istilah Nicholas Negroponte (1996), seorang neo-futuris dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, bahwa “menjadi digital” adalah sesuatu yang utama dari kehidupan (saat ini).

Manusia tidak melepaskan diri dari pengaruh teknologi. Teknologi adalah fenomena yang membuat manusia harus mengikutinya dan antisipasi sudah selayaknya dilakukan.

“Manusia harus terus-menerus memperbaiki dan berpikir ulang mengenai tujuan sosialnya,” demikian saran dari futurolog Alvin Toffler (1970) sebagaimana dicatat oleh Anthony G. Wilhelm dalam Democracy in the Digital Age: Challenges to Political Life in Cyber Space (2000).

Meski memiliki banyak kemanfaatan, namun Lebaran versi digital ini juga dipandang mengandung sisi-sisi kekurangan dan bisa bersifat tidak terlihat alias laten. Sebagai salah satu contoh, fenomena saling bermaaf-maafan saat Lebaran yang jika hanya mengandalkan fasilitasi via online sampai batas tertentu bisa mengurangi nuansa “kedekatan dan keakraban”.

Bagi banyak pihak, bertemu fisik langsung secara kejiwaan sampai batas tertentu bisa memunculkan rasa keintiman relasi yang lebih optimal sekaligus memberikan kesan lebih mendalam daripada sekadar bertemu via digital.

Ada rasa yang “berbeda” secara psikologis saat bersilaturahmi dengan bertemu secara langsung dengan yang hanya via online, tanpa mengurangi esensi dari Lebaran itu sendiri. Hannah Arent (1963), seorang filsuf Jerman, menyebutnya sebagai “pelemahan hubungan” karena manusia berkomunikasi tidak lagi bertemu secara langsung, namun telah dilokalisasi oleh teknologi.

Pun, dengan sebagian aktivitas lain khas momen Lebaran yang menggunakan piranti teknologi komunikasi digital, jika secara pribadi tidak berhati-hati bisa rentan menimbulkan problem bagi si penggunanya maupun pihak lain. Misal saja, saat bertransaksi secara online, jika tidak berhati-hati dalam menjaga identitas pribadi seperti nomor pin rekening bank, maka rentan diretas pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab.

Aksi-aksi penipuan via transaksi digital juga rentan muncul di sela-sela kemeriahan momen Lebaran dengan aneka topeng untuk menjerat para korbannya, mulai dari iming-iming undian berhadiah, bisnis investasi hingga ajakan peduli kemanusiaan melalui kedok penggalangan donasi sosial.

Hal ini belum termasuk info-info spesifik tertentu yang sejatinya bernuansa hoax, hate speech, bullying atau praktik pishing, scamming, carding, cracking bahkan hingga sejenis over narcissism yang bisa saja muncul mewarnai ruang maya masyarakat kita, bahkan di tengah-tengah kekudusan momen Idul Fitri.

Dengan demikian, seyogyanya kita harus senantiasa waspada dan antisipasi melalui penguatan literasi digital agar jangan sampai menjadi korban atau bahkan pelaku dari praktik-praktik penyimpangan digital terkait.

Baca juga: Opini - HPN 2023 dan optimalisasi kompetensi wartawan

Pada akhirnya kita mungkin bersepakat dengan adagium, teknologi selalu bermata dua. Teknologi tidaklah netral, demikian deklarasi kaum tekno-realis dalam memandang keberadaan teknologi.

Ada banyak manfaat positif dari eksistensi teknologi bagi peradaban manusia, tak terkecuali teknologi komunikasi digital. Di sisi lain, ada juga sisi-sisi bernuansa negatif yang menyelubungi ekses dari eksistensi teknologi.

Baca juga: Telaah - Cinta di Jabal Rahmah

Memang, teknologi komunikasi digital “bisa mendekatkan yang jauh sekaligus juga bisa menjauhkan yang dekat”. Meski demikian, di era modern yang serba sangat kompetitif saat ini, kita sungguh tidak bisa menghindarkan diri dari globalisasi teknologi komunikasi digital.

Yang dapat kita lakukan adalah berusaha bijaksana dalam meresponsnya sesuai dengan situasi dan kebutuhan diri agar senantiasa tercapai kehidupan berkemajuan yang lebih baik. Selamat Idul Fitri 1444 Hijriah. Minal 'Aidin wal-Faizin. Mohon maaf lahir dan batin.








(Penulis adalah Guru Besar Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang juga Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA).

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Lebaran digital, wajah baru berhari raya